“KAMI AKAN MEMBANGUN KEMBALI GAZA”


Penulis: Rani Nurul Hudayanti
28 Nov 2023
Bagikan:
By: Rani Nurul Hudayanti
28 Nov 2023
296 kali dilihat

Bagikan:

GAZA -- Tahani al-Najjar memanfaatkan jeda pengeboman Israel ke Gaza pada Sabtu (25/11/2023) untuk kembali ke rumahnya yang sudah menjadi puing-puing. Ia mengatakan, rumahnya hancur dalam serangan udara Israel yang menewaskan tujuh anggota keluarganya dan memaksanya tinggal di pengungsian.

Selama 24 jam jeda pertempuran yang dijadwalkan berlangsung selama empat hari, ribuan warga Gaza melakukan perjalanan dari tempat pengungsian sementara ke rumah mereka. Mereka ingin melihat seperti apa rumah mereka setelah pengeboman berminggu-minggu.

"Di mana kami akan tinggal? Di mana kami akan pergi? Kami mencoba untuk mengumpulkan kayu-kayu untuk membangun tenda kami tapi tidak berhasil, tidak ada apa-apa untuk keluarga melindungi satu keluarga," kata Najjar sambil memilah-memilih puing-puing dan memelintir besi di rumahnya, Ahad (26/11/2023).

Najjar yang merupakan ibu lima orang anak berasal dari Khan Younis di selatan Gaza. Perempuan berusia 58 tahun itu mengatakan, militer Israel juga meratakan rumahnya dalam dua konflik sebelumnya pada 2008 dan 2014.

Kami mencoba untuk mengumpulkan kayu-kayu untuk membangun tenda kami tapi tidak berhasil, tidak ada apa-apa untuk keluarga melindungi satu keluarga.

Ia mengambil beberapa cangkir yang masih utuh dari reruntuhan, di mana sebuah sepeda dan pakaian yang penuh debu tergeletak di antara puing-puing. "Kami akan membangun kembali," katanya.

Bagi sebagian besar dari 2,3 juta orang yang tinggal di Jalur Gaza yang kecil, jeda dalam serangan udara dan artileri yang nyaris konstan memberikan kesempatan pertama untuk bergerak dengan aman, memeriksa kerusakan, dan mencari akses untuk mendapatkan bantuan.

Di pasar-pasar terbuka dan depot-depot bantuan, ribuan orang berdiri mengantre untuk mendapatkan bantuan yang mulai mengalir ke Gaza dalam jumlah yang lebih besar. Bantuan ini bagian dari kesepakatan gencatan senjata.

Di tenda-tenda darurat di luar Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, Mohammed Shbeir mengatakan sangat ingin membawa keluarganya kembali ke rumah ke kamp pengungsi al-Shati di utara. Mereka memutuskan untuk tidak melakukannya setelah mendengar desas-desus orang-orang yang mencoba melakukannya ditembaki pasukan Israel. "Saya tidak bisa tinggal di tenda seperti ini. Saya dulu punya rumah dan merasa nyaman dengan anak-anak saya," katanya, sambil menyuapi anaknya yang masih bayi dengan sup miju-miju karena tidak ada susu formula yang tersedia, Ahad (26/11/2023).

Sementara itu, blokade menambah krisis kemanusiaan. Hanya ada listrik untuk rumah sakit, sedikit air bersih, bahan bakar untuk ambulans, atau makanan dan obat-obatan. Di sebuah pasar jalanan di Khan Younis, di mana tomat, lemon, terong, paprika, bawang, dan jeruk berada di dalam peti, Ayman Nofal mengatakan ia dapat membeli lebih banyak sayuran daripada yang tersedia sebelum gencatan senjata dan harganya lebih murah. "Kami berharap gencatan senjata ini akan terus berlanjut dan permanen, bukan hanya empat atau lima hari. Orang-orang tidak dapat membayar biaya perang ini," katanya.

Selama tujuh pekan, Hussam Saleem hidup di bawah suara bom yang terus berdentum di sekitar rumahnya di Kota Gaza. Ketika gencatan senjata sementara yang disepakati antara Israel dan Hamas dimulai pada Jumat (24/11/2023), salah satu prioritas pertama pria berusia 60 tahun ini adalah tidur.

"Kami sangat membutuhkan istirahat ini. Kami ingin tidur, pergi ke pasar, mencari kebutuhan dasar yang tidak dapat kami berikan kepada anak-anak kami selama beberapa minggu terakhir," kata Saleem kepada Middle East Eye, Sabtu (25/11/2023).

Akhirnya, Saleem dan 2,3 juta warga Palestina lainnya di Jalur Gaza akan mendapatkan jeda beberapa hari. Saleem percaya bahwa jeda waktu tersebut terlalu singkat. Ia mengatakan bahwa ia dan keluarganya berharap Israel dan Hamas menggunakan waktu ini untuk merundingkan gencatan senjata yang lebih lama untuk mengakhiri perang ini.

"Kami tidak ingin jeda saja, kami ingin perang ini berakhir apapun yang terjadi. Kami sudah lelah, Jalur Gaza sudah hancur, kami tidak bisa menerima lebih banyak pembunuhan dan kehancuran," katanya.

Rimas Muhammad adalah seorang gadis berusia 13 tahun yang tetap tinggal di Kota Gaza bersama keluarganya meskipun ada ancaman dari tentara Israel, yang kini menduduki sebagian besar wilayah kota tersebut. Dia mengatakan kepada MEE bahwa jeda waktu akan memberinya kesempatan untuk mengunjungi teman-teman dan kerabatnya yang masih tersisa di sana."Saya akan berjalan di jalan-jalan Gaza karena saya rindu berjalan-jalan tanpa rasa takut. Saya akan pergi ke toko-toko jika mereka buka," katanya.

Sejak serangan mendadak Hamas pada pada 7 Oktober lalu, Israel membombardir Gaza dalam serangan paling mematikan dan merusak yang pernah terjadi di Gaza yang memiliki panjang 40 kilometer. Para pejabat kesehatan Palestina di Gaza mengatakan pengeboman telah menewaskan lebih dari 14.000 orang, 40 persennya di antaranya adalah anak-anak, dan meratakan sejumlah distrik permukiman. Mereka mengatakan ribuan mayat lainnya mungkin masih berada di bawah reruntuhan, yang masih belum tercatat ke dalam total korban tewas resmi.

Gencatan senjata atas mediasi Qatar dan Mesir dilakukan sejak Jumat lalu. Kedua pihak yang bertikai sepakat akan menghentikan serangan dengan imbalan pertukaran sandera selama empat hari. Setelah empat hari berakhir, gencatan senjata dapat diperpanjang satu hari untuk setiap 10 tawanan yang dibebaskan, dengan batas waktu sepuluh hari. Sekitar 240 orang yang diculik oleh pejuang Palestina pada 7 Oktober diyakini masih berada di Gaza. Dengan jeda pertempuran selama empat hari tersebut, pertukaran 50 tawanan Israel dan 150 tawanan Palestina bisa dilakukan.

Israel telah memutus sama sekali akses masuknya makanan, bahan bakar dan air ke daerah kantong pesisir tersebut, dan memaksa ratusan ribu warga Palestina di Gaza utara, termasuk Kota Gaza, untuk mengungsi ke daerah selatan. Perjanjian gencatan senjata akan memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan serta kesempatan bagi warga Palestina untuk bergerak bebas lagi. Meskipun warga Gaza tidak dianjurkan kembali ke sektor utara yang diminta Israel untuk mengungsi.

Meskipun jeda dari perang disambut baik, beberapa orang di Gaza merasa terganggu dengan persyaratan perjanjian tersebut. Seorang warga Gaza, yang tidak ingin disebutkan namanya karena alasan keamanan, mengatakan bahwa kesepakatan gencatan senjata itu mengejutkan, karena tampaknya jelas-jelas lebih menghargai nyawa warga Israel daripada warga Palestina.

"Empat hari gencatan senjata ini tidak sebanding dengan banyaknya orang yang terbunuh dan terluka, rumah-rumah yang hancur, dan banyaknya orang yang mengungsi atau kehilangan tempat tinggal," katanya.

Hamas mengatakan bahwa mereka mencapai kesepakatan tersebut karena "tanggung jawab" mereka terhadap rakyat Palestina, yang bertujuan untuk "meringankan penderitaan mereka, menyembuhkan luka-luka mereka" dan memperkuat tekad mereka untuk melawan Israel.

Namun, warga Gaza itu mengatakan bahwa "sangat memalukan" mengetahui bahwa ia tidak dapat kembali ke rumahnya di utara sementara para pemimpin Hamas di luar daerah kantong dapat melakukan perjalanan dengan bebas antara Beirut dan Qatar.

"Gencatan senjata ini hanyalah sebuah kebohongan besar. Ini akan memberi Israel lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi putaran kekerasan berikutnya, yang akan memakan lebih banyak korban," katanya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Sumber : Oleh LINTAR SATRIA, republika

 

Baca Juga: 

ANAK-ANAK GAZA MENDAPAT MAINAN SEBAGAI SALAH SATU CARA TRAUMA HEALING

LAZ PERSIS BAGIKAN MAKANAN SIAP SAJI UNTUK PARA PENGUNGSI DI GAZA UTARA DAN SELATAN

 

 

 

Penulis: Rani Nurul Hudayanti
Tags: al aqsha palestine under attack save palestine freepalestine

Berita Lainnya

Mitra LAZ Persatuan Islam
WhatsApp