Bendera Putih Berkibar di Aceh, Bahasa Sunyi dan Jeritan Kemanusiaan


Penulis: Hafidz Fuad Halimi
16 Dec 2025
Bagikan:
By: Hafidz Fuad Halimi
16 Dec 2025
182 kali dilihat

Bagikan:

Senin, (15/12/2025) ACEH - Bendera putih tampak berkibar di berbagai ruas jalan di Aceh Timur hingga Aceh Tamiang. Kain polos itu bukan sekadar penanda visual, melainkan simbol kepasrahan warga yang telah berjuang melawan dampak banjir selama berminggu-minggu tanpa dukungan yang memadai. Bagi masyarakat terdampak, bendera putih menjadi bahasa sunyi yang menandakan satu hal, mereka tidak lagi sanggup bertahan sendiri.

Di Desa Alue Nibong, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, warga mengaku telah mengerahkan seluruh kemampuan yang mereka miliki. Namun keterbatasan logistik dan tenaga membuat situasi kian memburuk. “Ini bukan soal menyerah dalam arti lemah, tapi kami sudah di titik paling akhir. Kami butuh pertolongan,” ujar warga setempat, Minggu (14/12/2025).

Secara filosofis, bendera putih dalam konteks bencana bukanlah lambang kekalahan, melainkan seruan kemanusiaan. Ia menandakan bahwa daya hidup komunitas telah terkuras dan solidaritas yang lebih luas sangat dibutuhkan. Dalam tradisi sosial, bendera putih adalah tanda genting, yakni sebuah pengakuan jujur bahwa keselamatan manusia harus diutamakan di atas segalanya.

Hingga tiga pekan pascabanjir, bantuan yang masuk dinilai belum sebanding dengan skala bencana. Warga akhirnya mengandalkan gotong royong dengan membangun dapur umum mandiri. Namun persediaan bahan makanan semakin menipis dan sejumlah warga dilaporkan mulai mengalami kelaparan.

Bendera putih ini adalah tanda kami tidak sanggup lagi melawan keadaan,” ungkap warga lainnya.

Bendera putih terlihat terbentang di sepanjang jalan nasional Banda Aceh–Medan. Pemandangan itu menjadi potret keputusasaan kolektif sekaligus pesan terbuka kepada negara. Warga menilai respons pemerintah pusat terhadap bencana di Sumatra, khususnya Aceh, berjalan lamban.

Juru bicara Gerakan Rakyat Aceh Bersatu, Masri, mengatakan bahwa masyarakat telah mencapai batas kemampuan mereka.

Bendera putih yang dikibarkan warga adalah tanda darurat. Ini seharusnya menjadi alarm keras bagi negara,” ujar Masri.

Ia menambahkan, simbol tersebut juga dimaksudkan sebagai panggilan kemanusiaan kepada dunia internasional agar Aceh tidak dibiarkan menghadapi bencana sendirian.

Sementara itu, Juru Bicara Pemerintah Aceh sekaligus mantan Sekretaris BRR Aceh-Nias, Teuku Kamaruzzaman atau Ampon Man, menggambarkan kondisi masyarakat yang hidup berminggu-minggu tanpa listrik dan komunikasi. Bahkan wilayah yang relatif aman seperti Banda Aceh dan Aceh Besar ikut terdampak.

Kelangkaan BBM dan elpiji memperparah keadaan. Aktivitas UMKM lumpuh, industri rumah tangga terhenti, dan harga kebutuhan pokok melonjak tajam. Menurut Ampon Man, keterbatasan kemampuan lembaga pemerintah dalam penanganan bencana terlihat jelas, terutama minimnya pengerahan tenaga penyelamat terlatih dan distribusi logistik berskala besar.

Ia menyoroti absennya pengiriman bantuan melalui jalur udara secara masif, sebagaimana pernah dilakukan saat tsunami 2004. “Tidak terlihat pengerahan komponen cadangan negara secara maksimal untuk pencarian dan penyelamatan korban,” katanya.

PLN, lanjut Ampon Man, dinilai masih bekerja dengan mekanisme perbaikan normal tanpa langkah darurat seperti penyediaan generator bagi kota-kota terdampak. Pertamina baru menyalurkan BBM dan elpiji secara signifikan pada hari ke-10 pascabencana. Meski demikian, ia mengapresiasi Badan Pangan Nasional dan Bulog yang mampu menjaga ketersediaan stok pangan di posko kebencanaan.

Menurutnya, lambannya respons pemerintah pusat berpotensi memperbesar risiko korban kemanusiaan. “Bendera putih yang dikibarkan warga Aceh bukan simbol menyerah kepada alam, tetapi simbol perlawanan terakhir terhadap kelalaian. Ini jeritan agar nyawa manusia tidak diabaikan,” ujarnya.

Di tengah keterbatasan, masyarakat Aceh kembali menunjukkan ketahanan sosialnya. Namun mereka menegaskan, gotong royong tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda kehadiran negara. Bendera putih yang berkibar hari ini menjadi pengingat bahwa dalam bencana, kecepatan dan kepedulian adalah bentuk tertinggi dari keadilan sosial.

Di tengah keterbatasan dan lambannya pertolongan, harapan tidak boleh ikut tenggelam bersama banjir. Masyarakat luas memiliki peran yang sama mulianya dengan para relawan di garis depan, yakni menghadirkan kepedulian melalui infak yang berkelanjutan. Bukan sekadar bantuan sesaat, tetapi uluran tangan yang terus mengalir agar dapur umum tetap mengepul, anak-anak tetap makan, dan para orang tua tidak kehilangan harapan.

Infak yang dilakukan secara konsisten adalah bentuk jihad kemanusiaan, yakni sebagai ikhtiar kecil yang jika dihimpun bersama, mampu menyelamatkan kehidupan dan memulihkan martabat saudara-saudara kita di Sumatra yang hari ini bertahan di antara genangan dan ketidakpastian.

Yuk, bantu terus saudara kita di Sumatra melalui infaak di link ini: Bantu Korban Banjir Sumatra 

Infak kebencanaan pun bisa langsung ditunaikan melalui rekening:
BSI 
711 2222 507 a.n. LAZ PERSIS Konfirmasi Transfer: 0819-2255-523 (WhatsApp)

Bagi yang hendak menunaikan zakat, bisa langsung melalui link ini: Link Bayar Zakat 


Baca Juga:

Korban Banjir Bandang dan Longsor di Sumatra Tembus 964 Jiwa, Upaya Pencarian ‎Terus Digenjot

Laporan Respons Kebencanaan LAZ PERSIS: Akses Terbatas, Harga Melonjak, dan ‎Bantuan Diprioritaskan dari Jawa

LAZ PERSIS Tebar 1000 Benih Ikan Nila untuk Pelaku Budidaya di Ciamis‎

 

Sumber Gambar: www.acehground.com

Sumber Berita: Diolah dari berbagai sumber

 

Penulis: Hafidz Fuad Halimi
Tags: lazpersis banjir sumatra aceh white flag

Berita Lainnya

Mitra LAZ Persatuan Islam
WhatsApp