Kala itu Juli 2021, kegiatan MATSRAS (Masa Ta’aruf Santri) berlangsung di Kampus II PPI 92 Majalengka. Untukku yang baru memasuki dunia santri, pastinya perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan, mulai dari teman, guru, tempat, dan pelajaran. Terbersit nasihat Abi yang belum lama disampaikan kepadaku, “Berakhlak baiklah, jaga shalatnya, jaga hafalannya, jangan malas-malasan! Jaga juga nama baik Abi! Karena di sana banyak guru-guru dan teman-teman Abi.” Mendengar itu, seketika perasaan khawatir terkikis sedikit demi sedikit. Aku mengangguk dan Abi kembali bicara, “Abi akan minta tolong Ust. Aep untuk terus membimbing Teteh, khususnya dalam hafalan.” Aku terkesiap, “Ust. Aep siapa bi?” tanyaku. “Beliau Mudir Mu’allimin di sana,” jawab Abi. “Ohh...” sahutku.
Setelah tiga hari ta’aruf santri baru, maka tenggelamlah masa santai dan terbitlah masa sibuk. Di asrama, setiap santri bersiap untuk hari esok memulai kelas. Ada yang menyampul buku, ada yang membeli perlengkapan alat tulis, ada yang merapihkan lemari, dan ada juga yang tinggal memanggul tas. Mereka ini yang tinggal sibuk bersantai memainkan handphone-nya sembari bergelimpangan di atas kasur.
Semua sibuk mempersiapkan keperluan sekolahnya masing-masing. Tak terkecuali aku juga yang sibuk menyampul buku dan membereskan lemari. Namun di tengah itu, adzan Maghrib berkumandang. Segera kami meninggalkan kesibukan dan bersiap untuk shalat ke Masjid. Maghrib itu diimami oleh Ust. Aep, disambung dengan kegiatan tilawatil Qur’an, baru kemudian kita kembali ke asrama.
Sampai di asrama, aku melanjutkan kegiatanku. Tiba-tiba, ada jari yang mencolek bahuku dan aku menoleh. “Dha, kamu dipanggil sama Ust. Aep di Masjid,” ucap seseorang yang tadi mencolekku. “Oh iya, ok!” jawabku. Aku bergegas kembali ke Masjid ditemani oleh satu temanku.
Aku duduk di teras Masjid berhadapan dengan Ust. Aep. Tepat di samping kananku ada temanku yang rela menemani di tengah kesibukannya. “Psst, zah ini kenapa ya? Kok aku dipanggil?” bisikku pada temanku, Azizah. “Aku juga ga tau Dha, aku kan cuma nemenin kamu. Eh eh jangan-jangan…” jawabnya sambil senyum menyeringai dengan tatapan misterius ke arahku, “Apaan sih!”.
Tak lama setelah itu, datang beberapa RG (santri laki-laki) yang kemudian ikut duduk bergabung. “Baik yaa, jadi di sini ada Fadha…” Kata Ust. Aep sekaligus memulai percakapan. Lalu beliau menyebut nama yang lainnya satu persatu. “Nahh, di sini kalian adalah santri yang memiliki hafalan lebih dari santri-santri yang lainnya. Jadi, karena itu Ustadz juga memiliki tanggung jawab untuk membimbing kalian, sebagaimana di sini ada yang orangtuanya nitip pesan ke Ustadz, ada juga yang kemauan sendiri,” ucap Ust Aep. Pikiranku langsung mengingat kata-kata Abi sebelum berangkat.
“Jadi mulai besok, kalian boleh menyetorkan hafalan kalian pada Ustadz setiap ba’da Maghrib dan ba’da Isya. Tidak ada tuntutan harus berapa banyak karena memang ini di luar dari pelajaran formal lainnya. Tapi diusahakan untuk setiap harinya ada lah itu kalian menyetor sama Ustadz,” tutur Ustadz Aep. “Ya, baik Ustadz,” jawab kami.
Sebelum tidur, aku sempat bergumam, “Duhh, ternyata beneran Abi bilang ke Ustadz Aep. Aku kira cuma gitu doang dan gak akan terlalu diperhatikan. Ehh ternyata... Ya sudahlah, mungkin memang begini baiknya.” Mataku terpejam.
Mentari menampakkan diri dengan indahnya seakan turut bersemangat untuk mendengar Tausiyah asatidz pada upacara pagi ini. Yaa... seperti Sabtu biasanya, kami para santri berbaris di lapangan sekolah untuk melaksanakan upacara dan membiasakan mengucapkan ba’iat di hari Ahad sampai Kamis. Barulah ketika hari Jum’at tiba, hari yang paling ditunggu-tunggu para santri layaknya siswa SMA pada umumnya menantikan libur di hari Ahad.
“Bismillahirrahmanirrahim innalhamdalillah nahmaduhu…,” Pagi ini Ust. Aep yang mengisi tausiyah, dengan gaya bahasa yang lugas dan santai menghantar perhatian kami pada beliau. Selain bertausyiah, beliau juga menyampaikan beberapa peraturan yang mesti santri taati dari mulai peraturan sekolah, asrama, dan lainnya, termasuk peraturan pemakaian handphone.
“Hufft…” aku menarik nafas panjang. Dengan perasaan gelisah, aku memijat-mijat tangan kiriku dengan tangan kananku sembari terkadang memainkan pembatas Qur’an agar tidak terlalu gugup.
Ba’da Maghrib kali ini adalah setoran pertamaku dengan Ust. Aep. Perasaan takut dan gugup datang menyergap begitu saja kala ada suatu hal yang belum pernah aku hadapi, kini menunggu kedatanganku tepat di pelupuk mata. Aku baru mengenal beliau aku tidak tahu kalau misalkan dalam setoran aku “ngadat” atau lupa, apakah akan dibetulkan atau dimarahi. Mungkin beliau sudah menyiapkan seutas tali atau sebatang kayu tipis yang siap diayunkan, seperti bayanganku pada umumnya dipondokan.
Sungguh kalut. Kini aku melihat bahwa mungkin sebentar lagi tiba giliranku untuk menyetorkan hafalan. Aku melihat sepasang kaki melangkah menuju keluar masjid dan, “Ayo, UG yang di luar,” terdengar suara Ust. Aep menandakan bahwa yang di dalam sudah selesai dan sekarang adalah giliranku. Aku melangkah masuk ke dalam Masjid. Berjarak satu ubin aku duduk berhadapan dengan Ust. Aep dengan berusaha tenang dan kemudian aku melafalkan basmalah yang dilanjut dengan ayat yang ingin disetorkan.
Beberapa kata ada yang sedikit lupa tapi alhamdulillah, dapat dengan lancar disetorkan. Aku melirik wajah teduh Ust. Aep. Beliau menyimak hafalanku dengan mata terpejam dan sesekali melihat Qur’an.
“Ya, sudah bagus nanti diteruskan lagi ya. Apalagi Gaza ada target dari Abinya. Maaf tadi Shubuh Ustadz tidak sempat mentasmi’ hafalan karena ada kajian,” ucap Ust. Aep yang kadang memanggilku dengan panggilan Fadha dan kadang juga memanggil dengan sebutan Gaza.
“Iya Ustadz, Jazakallah,” jawabku dengan kepala mengangguk. Oh, ternyata aku salah. Beliau tidak se-killer yang aku bayangkan, hehe...
Ya, itu kisah dua tahun yang lalu saat aku kelas 10 atau 1 Muallimin. Sekarang, aku sudah berada di kelas 12. Awal semester di tingkat ini terasa sedikit berat karena kami diminta untuk fokus dalam pelajaran sembari mempersiapkan persiapan PLKJ (Praktik Latihan Khidmah Jam’iyyah) yang biasa dilaksanakan santri kelas 12 untuk memenuhi syarat kelulusan sekaligus berlatih menyebarkan dakwah secara langsung di masyarakat selama batas waktu yang ditentukan. PLKJ tahun ini diberikan waktu dua belas hari bertempat di desa Gadog, Ciamis.
Setelah PLKJ, kami harus menghadapi PAS (Penilaian Akhir Semester). Meskipun berat, tapi mau bagaimana pun harus tetap dijalani.
Sejak aku kelas 10, Ust. Aep yang menjabat sebagai Mudir Muallimin juga mengampu beberapa bidang studi. Di antaranya, B. Arab, SKI, Musthalah Hadits, ditambah dengan mengajar di pelajaran ekstra yang waktunya ba’da Maghrib dan ba’da Shubuh, yaitu Nahwu dan kitab Riyadush Shalihin.
Meski begitu, beliau tetap masuk bahkan tergolong asatidz yang rajin masuk. Kalaupun beliau izin karena keperluan, tak lupa beliau memberikan tugas pada kami.
Selama menjadi Mudir Muallimin, beliau menerapkan pembiasaan berbahasa, khususnya bahasa Arab. Setiap bai’at para santri mengenal kosa kata atau mufrodhat baru juga me-muraja’ah mufrodhat lama dipimpin oleh beliau. Setelah itu, beliau menyerahkan kegiatan pembiasaan selanjutnya pada tasykil RG-UG.
Semester 2 kelas 10, beliau lepas dari jabatan sebagai Mudir Muallimin dan berganti menjadi Mudir ‘Am. Namun, karena beliau juga memiliki banyak kesibukan penting lainnya yang lebih padat, termasuk menjabat sebagai Kepala KLP LAZ PERSIS Majalengka, sekarang ini beliau jadi sering berhalangan hadir. Karenanya, jujur saja terkadang aku jadi sungkan untuk menyetor hafalan menyadari beliau memang sibuk akhir-akhir ini.
Ust. Aep Saepudin menjabat sebagai Kepala KLP LAZ PERSIS Majalengka
Di tengah-tengah kesibukan, beliau selalu menyempatkan untuk melihat kami para santrinya dalam setiap acara. Contohnya, waktu itu aku dan beberapa santri mengikuti kegiatan KSM (Kompetisi Sains Madrasah) pada 13 agustus 2022 dan 8 Juli 2023 di MAN 2 MAJALENGKA. Saat itu, Ust. Aep lah yang mengantar jemput kami dengan mobilnya. Juga saat acara PLKJ di Desa Gadog-Ciamis, beliau turut menghadiri kegiatan pelepasan kami dan penutupan, kemudian acara pembubaran panitia, dan lain sebagainya.
Ketika kami menjadi pengurus RG-UG, beliau turut memberikan dukungan serta kontribusinya kepada tasykil RG-UG. Ketika ada masalah, terkadang kami berkunjung ke rumah beliau atau kantor beliau untuk berembuk dan beliau memberikan saran-saran yang sangat membantu.
Saat waktu Shubuh, tak jarang beliau menggedor pintu dan jendela-jendela asrama untuk membangunkan para santri. Tak sedikit pula sepatu dan sandal santri yang dilempar karena tidak diletakkan di rak sepatu atau tidak disimpan dengan rapih.
Pernah satu waktu saat pelajaran ekstra ba’da Shubuh dalam pelajaran Riyadush Shalihin, santri UG sudah siap sementara santri RG hanya ada dua orang. Melihat itu, Ust. Aep bertanya, “Nu sanes kamarana?” “Masih di asrama, Ustadz,” jawab kami. Setelah semua datang, beliau memulai pelajaran dengan memberikan ceramah singkat terlebih dahulu.
Tak pernah terbersit dalam benakku kalau kami akan ditinggal pergi selamanya oleh beliau. Tak pernah terpikir olehku, kalau angkatanku adalah angkatan terakhir yang dibersamai oleh beliau dalam acara PLKJ. Ahad, 24 Desember 2023 pukul 20.15, Ustadz Aep Saepuddin meninggal dunia. Aku saat mengetahui kabar tersebut dari Abi bergegas membuka handphone untuk memastikan kabar yang ternyata benar adanya.
“Innalilahi wa innailaihi raji’un, Ustadz…,” seketika bibirku kelu dan mataku sayu. Sosok guru yang tegas, penyabar, tekun, dan rendah hati telah kembali ke pangkuan Ilahi. Kondisi yang tidak memungkinkan untukku berangkat dari Bekasi menuju Majalengka, membuatku menyesal tidak dapat ta’ziyah langsung kepada keluarga Almarhum.
Seakan terputar kembali memori, terutama saat beliau men-tasmi’ hafalanku. Jarang ada guru yang di tengah kesibukannya bisa meluangkan waktunya hanya untuk mendengarkan beberapa buah ayat. Beliau selalu men-support agar aku terus melanjutkan hafalanku. Kini aku mengerti kalaulah Abi tidak menitipkanku kepada Almarhum untuk menguatkan hafalan, aku tidak akan merasa berat seperti sekarang karena tidak ada sosok langsung yang membimbingku. Karena konsistensi beliau lah, aku menjadi tidak berleha-leha dalam menghafal.
“Ustadz Aep Saepuddin, beliau adalah kakak kelas Abi. Beliau orang yang santun, terbuka, mau menerima masukan meskipun terhadap Abi, adik kelasnya. Abi juga pernah memberi buku-buku Abi dan diterima dengan senang hati oleh beliau,” ucap Abi di satu hari.
Semester 2 nanti akan banyak berbeda. Kini Pesantren telah kehilangan sosok ustadz yang tegas dan kharismatik. Namun semangat beliau, segala petuah beliau akan selalu kami ingat dan tertanam dalam sanubari terdalam. Wahai Ustadz, maafkan kesalahan, kenakalan, dan ketidak patuhan kami. Bersyukur yang amat sangat karena Allah telah mengirimkan pada kami sosok yang berharga. Terima kasih atas bimbingannya selama ini. Semoga dapat menjadi ladang pahala bagi ustadz dan semoga ustadz mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya. Aamiin...
Penulis: Gaza Al Quds Hamas El Intifadha
Tags:
lazpersis
pesantren
Majalengka