Jenis-Jenis Zakat


Penulis: Hafidz Fuad Halimi
23 May 2023
Bagikan:
By: Hafidz Fuad Halimi
23 May 2023
3097 kali dilihat

Bagikan:

A. Zakat Fitri

Zakat Fitri/zakat badan adalah zakat yang wajib dikeluarkan satu kali dalam setahun oleh setiap muslim mukalaf (orang yang dibebani kewajiban oleh Allah) untuk dirinya sendiri dan untuk setiap jiwa yang menjadi tanggungannya. Jumlahnya sebanyak satu (1) sha’ (3,5 liter/2,5kg) per jiwa. Zakat Fitri didistribusikan pada tanggal 1 Syawal setelah melaksanakan shalat Subuh sebelum melaksanakan shalat Iedul Fitri.

1. Hukum Zakat Fitri

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى

Sungguh berbahagialah orang yang mengeluarkan zakat (fitrinya), menyebut nama Tuhan-nya (mengucap takbir, membesarkan Allah) lalu ia mengerjakan shalat (Iedul Fitri).” (QS al-A’la [87]: 14-15)

Menurut riwayat ibnu Khuzaimah, ayat di atas diturunkan berkaitan dengan Zakat Fitri, takbir hari raya, dan Salat Ied (hari raya). Menurut Sa’id Ibnul Musayyab dan Umar bin Abdul Aziz, “Zakat yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah Zakat Fitri”. Menurut al-Hafiz dalam Faathul Baari, “Ditambah nama zakat ini dengan kata ‘Fitri’ karena diwajibkan setelah selesai mengerjakan saum Ramadan”.

Lebih tegas lagi, dalil tentang wajibnya Zakat Fitri dalam sebuah hadits yang diterima oleh Ibnu Abbas, yaitu:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Rasulullah saw. telah mewajibkan Zakat Fitri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari segala perkataan yang keji dan buruk (ketika berpuasa), dan untuk menjadi makanan bagi orang-orang miskin.” (HR Abu Daud)

Dengan hadits ini, jelas dan tegaslah bahwa hukum mambayar Zakat Fitri itu wajib ditunaikan oleh umat Islam. Tujuannya, untuk membersihkan dan manyucikan diri serta membantu jiwa-jiwa yang kelaparan karena dibelit kemiskinan.

2. Kadar Zakat Fitri

Takaran Zakat Fitri yang harus dikeluarkan oleh setiap jiwa adalah sebanyak satu (1) Sha’ dari makanan pokok. Hal tersebut sesuai dengan hadits berikut.

كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ

Kami mengeluarkan (Zakat Fitri) di zaman Rasulullah saw. pada Iedul Fitri sebanyak satu sha’ dari makanan.” (HR Bukhari)

Sebuah hadits diceritakan oleh Abi Sa’id al-Khudriy sebagai berikut:

كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

Adalah kami (para sahabat) mengeluarkan Zakat Fitri satu sha’ makanan atau atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ mentega/keju, atau satu sha’kismis.” (HR Bukhari)

Hadits ini menyatakan bahwa kadar Zakat Fitri itu satu sha’ makanan. Pada hadits di atas, makanan yang dimaksud adalah gandum, kurma, keju, dan kismis. Itulah jenis makanan dikeluarkan untuk Zakat Fitri pada masa Rasulullah saw.

3. Hikmah Syariat Zakat Fitri

Zakat Fitri disyariatkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijrah. Zakat Fitri sebagai penyuci bagi orang yang shaum dari perbuatan atau perkataan yang sia-sia dan keji selama menunaikan ibadah shaum Ramadan.

Hikmah lain dari Zakat Fitri adalah penolong bagi kaum miskin agar turut menikmati kebahagiaan di Hari Raya Iedul Fitri.

4. Zakat Fitri dengan Uang

Pada dasarnya, Rasulullah saw. memberikan kebebasan bentuk zakat, termasuk Zakat Fitri. Hal ini bisa kita simpulkan dari kalimat:

صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

Satu sha’ makanan atau atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ mentega/keju, atau satu sha’kismis.”

Sebagian orang berpendapat bahwa Zakat Fitri itu harus dengan makanan pokok (berdasarkan hadits di atas). Padahal, jika kita memerhatikan lebih mendalam hadits tersebut, ada beberapa hal yang dapat kita pertanyakan, seperti kalimat “min tha’am” (dari makanan) bukankah bisa diartikan makanan pokok? Apakah kurma dan kismis termasuk makanan pokok? Penyebutan jenis-jenis makanan pada hadits di atas tidak mesti dipahami secara tesktual sehingga bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara (daerah).

Ada sebuah hadits tentang Mu’adz bin Jabal, bahwa beliau sewaktu menjadi gubernur Yaman selalu meminta agar gandum dan jagung diganti dengan pakaian atau baju. Beliau berkata:

اِئْتُوْنِيْ بِكُلِّ خَمِيْسٍ وَلَبِيْسٍ اَخُذُهُ مِنْكُمْ مَكَانَ الصَّدَقَةِ فَإِنَّهُ أَرْفَقُ بِكُمْ وَأَنْفَعُ لِلْمُهَاجِرِيْنَ

Berilah kepadaku khamis dan labis (dua macam pakaian) sebagai ganti sya’ir dan jagung. Khamis dan Labis lebih berguna bagi Muhajirin dan Anshar di Madinah.” (HR Bukhari)

Berdasarkan keterangan di atas, maka membayar Zakat Fitri atu zakat yang lainnya dengan uang seharga barang/makanan yang wajib zakat adalah sah dan tidak menyalahi syari’at.

5. Waktu Membagikan Zakat Fitri

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ  قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمِسَاكِيْنِ فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ, وَ مَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah saw. mewajibkan Zakat Fitri (untuk) membersihkan orang yang berpuasa dari omongan sia-sia dan perbuatan dosa serta (sebagai) pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Karena itu, siapa yang membagikannya sebelum salat (Iedul Fitri), maka zakatnya diterima dan siapa yang membagikannya setelah salat, itu hanyalah dihitung sebagai sedekah biasa.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Daruquthni)

Berdasarkan hadits di atas, para ulama sepakat bahwa mengeluarkan Zakat Fitri itu waktunya sebelum Shalat Iedul Fitri. Namun, mereka berbeda pendapat tentang makna sebelum (qobla). Ada yang memaknainya dengan sangat luas sehingga dikeluarkan sejak tanggal pertama bulan Ramadan. Ada juga yang berpendapat setelah Salat Maghrib pada waktu malam Iedul Fitri. Ada juga yang berpendapat setelah Salat Shubuh pada Iedul Fitri sebelum Salat Ied.

Mengingat bahwa dalam bahasa hadits, khususnya yang mengenai ibadah, kata qabla (sebelum) ditujukan untuk waktu yang terdekat. Seperti Salat Qobla Shubuh, tentu tidak dilakukan pada pukul 22.OO malam atau jam 01.00 dini hari, walaupun waktu seperti itu juga termasuk qabla (sebelum). Akan tetapi, Salat Qabla Shubuh dilaksanakan setelah azan Shubuh berkumandang.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan “Sebelum orang-orang pergi Salat Ied“, itu berarti setelah Salat Shubuh, karena itulah waktu ibadah yang terdekat dengan shalat Iedul Fitri.

Adapun mengenai sebuah riwayat dari Ibnu Umar yang berbunyi:

وَ كَانُوا يُعْطُوْنَهَا قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

Para sahabat biasa menyerahkan Zakat Fitri (kepada amil) sehari atau dua hari sebelum hari raya.” (HR Bukhari)

Adapun yang dimaksud dalam hadits di atas adalah para sahabat memberikannya kepada badan amil zakat untuk dibagikan pada waktunya. Hal ini sesuai dengan perbuatan Ibnu Umar dan Rasulullah tidak pernah membagikan Zakat Fitri kepada mustahik sebelum fajar pada hari raya. Lebih tegasnya lagi bisa dilihat dalam hadits berikut.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ r يَأْمُرُ بِهِ ، فَيُقْسَمُ – قَالَ يَزِيدُ أَظُنُّ: هَذَا يَوْمَ الْفِطْرِ – وَيَقُولُ أَغْنَوْهُمْ عَنْ الطَّوَافِ فِي هَذَا الْيَوْمِ”

Dari Ibn ‘Umar, ia berkata: Rasulullah saw. menyuruh untuk mengeluarkan Zakat Fitri lalu dibagikan -Yazid berkata, “aku berpendapat bahwa pada hari ini- ‘Iedul Fitri-”. Serta beliau lalu bersabda: “Cukupknalah keperluan mereka dari berkeliling (untuk meminta-minta pada hari ini).” (HR al-Jauzaani)

6. Orang yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitri

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ r زَكَاةَ الْفِطْرِ، صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى الْعَبْدِ، وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ، وَالْأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ، وَالْكَبِيرِ، مِنْ الْمُسْلِمِينَ …

Dari Ibn ‘Umar r.a., ia telah berkata: “Rasulullah saw. telah mewajibkan Zakat Fitri, yaitu mengeluarkan satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum atas hamba sahaya dan orang yang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang dewasa, dari segenap orang Islam….” (HR Bukhari-Muslim)

Berdasar hadits di atas, jelaslah bahwa Zakat Fitri itu diwajibkan kepada setiap orang muslim yang sudah bernyawa, baik ia miskin ataupun kaya. Namun, ada pengecualian bagi orang yang memang tidak memiliki apapun untuk diberikan. Orang yang wajib mengeluarkan Zakat Fitri adalah orang yang mempunyai kelebihan dari sekadar keperluannya pada hari itu.

Adapun bagi yang belum memiliki harta sendiri, seperti anak-anak, maka orangtuanyalah yang berkewajiban membayarkan Zakat Fitrinya. Demikian pula apabila ada saudara kita yang tidak sanggup membayar Zakat Fitri, alangkah baiknya kita sebagai saudara ikut membayarkan zakatnya sehingga semakin memperkokoh jalinan ukhuwwah.

7. Mustahik Zakat Fitri

Pendapat yang umum mengatakan bahwa mustahik (orang yang berhak menerima) zakat itu ada 8 ashnaf (golongan/kelompok), yaitu:

Fakir

Miskin

Amil

Muallaf

Pembebas budak

Yang terlilit utang

Pejuang di jalan Allah

Perantau yang kehabisan bekal

Golongan tersebut sesuai sebagaimana yang tertera dalam surah at-Taubah ayat 60. Namun, khusus untuk Zakat Fitri ini, ada yang berpendapat bahwa mustahiknya hanya fakir dan miskin. Mereka beralasan dengan hadits Ibnu Abbas, seperti yang disebutkan di atas bahwa Zakat Fitri itu “thu’matan lil masaakin” (sebagai makanan bagi orang-orang miskin). Demikian pula ada beberapa keterangan dalam Kitab Zaadul Ma’ad yang menyebutkan bahwa Nabi saw. memberikan Zakat Fitri kepada fakir dan miskin saja.

Ungkapan Nabi saw. bahwa Zakat Fitri itu “thu’matan lil masaakin” bukanlah berarti hanya dikhususkan bagi fakir dan miskin saja, namun hanya merupakan keutamaan saja. Seperti halnya mengenai Zakat  Maal (Zakat Harta), Nabi saw. mengatakan:

أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدَّ فِي فُقَرَائِهِمْ

Bahwasanya Allah telah mewajibkan Zakat Maal itu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk dibagikan kepada orang-orang miskin di antara mereka juga.” (Muttafaq ‘Alaih)

Ungkapan itu ditujukan kepada Mu’adz bin Jabal yang diberi tugas khusus oleh Nabi sebagai amil zakat untuk mengambil Zakat Maal di negeri Syam. Namun, sesuai dengan surah at-Taubah ayat 60, Zakat Maal itu dibagikan kepada 8 golongan (ashnaf). Demikian pula jika kita melihat sejarah bahwa Zakat Fitri itu disyari’atkan pada tahun kedua hijrah. Sementara surah at-Taubah ayat 60 turun jauh setelah tahun kedua hijrah. Dan sebelum ayat tersebut diwahyukan, semua zakat memang dibagikan hanya kepada fakir dan miskin.

Menurut Ibnu Qudamah: “Diberikan Shadaqah Fitri itu kepada mereka yang menerima Shadaqah Maal, karena Shadaqah Fitri dinamakan zakat juga. Karena itu, membagi Zakat Fitri sama dengan membagi Zakat Maal juga dan masuk ke dalam ketentuan umum yang terdapat dalam surah at-Taubah ayat 60“.

Dengan demikian, penyebutan “thu’matan lil masaakin” (makanan untuk orang miskin) dalam istilah Ushul Fiqh disebut sebagai tanshish (penegasan yang menunjukan keutamaan/prioritas) dan bukan menunjukkan takhshish (pengkhususan). Sehingga dalam pembagian Zakat Fitri, prioritas utamanya adalah fakir miskin sebagai pemberian agar mereka bisa merasakan kebahagiaan ketika Iedul Fitri. Namun, keutamaan itu tidak berarti menghilangkan hak ashnaf mustahik yang lainnya.

B. Zakat Harta Benda (Maal)

Zakat Harta Benda (Maal) telah diwajibkan Allah Swt. sejak permulaan Islam (sebelum Nabi saw. hijrah ke Madinah). Tak heran, jika ibadah zakat ini menjadi perhatian ulama Islam sampai-sampai diturunkan pada masa awal Islam kepada dunia. Hal tersebut karena dalam Islam, persoalan tolong-menolong dan kepedulian sosial merupakan hal yang sangat penting dalam rangka membangun peradaban sosial bermasyarakat islami yang berada dalam naungan Allah Swt. Sang Pengatur Rezeki.

Pada awalnya, zakat diwajibkan tanpa ditentukan kadar dan jenis hartanya. Syariat hanya memerintahkan agar mengeluarkan zakat, banyak sedikitnya diserahkan kepada kesadaran dan kemauan masing-masing. Hal itu berlangsung sampai tahun kedua hijrah. Pada tahun itulah, baru kemudian syariat menetapkan jenis harta yang wajib dizakati serta kadarnya masing-masing. Namun, mustahik (penerima) zakat pada saat itu hanya dua golongan saja, yaitu fakir dan miskin. Hal ini bisa dilihat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 271 yang diwahyukan pada tahun kedua hijrah.

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ

Jika kamu nampakkan pemberian sedekahmu, maka itulah pekerjaan yang sebaik-baiknya. Dan jika kamu menyembunyikan pemberian itu, kamu serahkan kepada orang fakir, maka itulah yang lebih baik bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 271)

Adapun pembagian zakat kepada delapan ashnaf (golongan/kelompok), baru terjadi pada tahun kesembilan (9) hijrah karena ayat yang berkaitan dengan delapan ashnaf baru turun pada tahun tersebut. Namun demikian, Nabi saw. tidak sepenuhnya membagi rata kepada delapan golongan tersebut. Beliau membagikannya kepada golongan-golongan yang dipandang perlu dan mendesak untuk disantuni.

Hal ini seperti terjadi pada saat Nabi saw. mengutus Muadz bin Jabal pergi ke Yaman untuk menjadi gubernur di sana. Nabi saw. pun memerintahkan Muadz untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang fakir di Yaman. Al-Bukhari menerangkan bahwa kejadian tersebut berlangsung pada tahun ke-10 Hijrah sebelum Nabi saw. menunaikan Haji Wada’.

Dengan demikian, surah at-Taubah ayat 60 menerangkan bahwa penerima zakat itu ada delapan golongan. Merekalah yang berhak menerima zakat sementara di luar golongan yang delapan itu, tidak berhak menerimanya. Namun, di antara mustahik tersebut tidak harus semuanya menerima secara rata. Akan tetapi, pembagiannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi dengan memerhatikan skala prioritas.

Zakat harta tersebut terdiri dari beberapa macam, yaitu:

•    Zakat Emas, Perak, dan Uang

•    Zakat Hasil Bumi

•    Zakat Barang Tambang

•    Zakat Harta Temuan

•    Zakat Perniagaan

1. Zakat Emas, Perak, dan Uang

Emas dan perak yang dimiliki seseorang wajib dikeluarkan zakatnya dengan dalil sebagai berikut:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ِ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

Orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkan di jalan Allah, peringatkanlah mereka tentang azab yang pedih. Pada hari emas dan perak dipanaskan dalam api neraka, lalu dibakar dengannya dahi-dahi mereka, rusuk-rusuk, dan punggung, dan dikatakan kepada mereka, ‘Inilah kekayaan yang kalian timbun dahulu, rasakanlah oleh kalian kekayaan yang kalian simpan itu’.” (QS at-Taubah [9]: 34-35)

Sebuah hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda:

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ

Tidak ada seorang pun yang mempunyai emas dan perak yang dia tidak berikan zakatnya, melainkan pada hari kiamat akan dijadikan hartanya itu beberapa keping api neraka. Setalah dipanaskan di dalam neraka Jahanam, kemudian digosokkan pada lambung, dahi, dan punggungnya, dengan kepingan itu; setiap kepingan itu dingin, maka dipanaskan kembali. Pada (hitungan) satu hari yang lamanya 50 ribu tahun sehingga Allah menyelesaikan urusan dengan hamba-Nya.” (HR Muslim)

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bagi pemilik emas dan perak wajib mengeluarkan zakat. Jika tidak, ancaman dari Allah Swt. sedemikian kerasnya.

a. Nisab dan Kadar Zakat Emas dan Perak

Nisab emas sebesar 20 Dinar (90 gram) dan nisab perak sebesar 200 Dirham (600 gram) sementara kadar zakatnya sebanyak 2,5%. Zakat emas ini dikeluarkan jika sudah mencapai haul (setahun sekali). Perhatikanlah keterangan-keterangan berikut ini.

فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ

Bila kau mempunyai 200 Dirham dan sudah cukup masanya setahun (haul), maka zakatnya adalah 5 Dirham (2,5%). Dan emas hanya dikenakan zakat bila sudah mencapai 20 Dinar. Apabila engkau memiliki 20 Dinar dan telah sampai setahun kau miliki, maka zakatnya setengah dinar, dan yang lebih sesuai perhitungannya.” (HR Abu Daud)

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa apabila seseorang menyimpan emas dan perak (baik dalam bentuk emas batangan maupun perhiasan berupa kalung, gelang, dan sebagainya), maka wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nisab dan haul.

Contoh:

Seorang ibu memiliki emas sebanyak 200 gram. Maka, zakat yang harus dikeluarkan adalah sebagai berikut:

2.5% x 200 gram = 5 gram

Asumsi harga 1 gram emas = Rp1.000.000,-

Maka, perhitungan zakatnya: 5 x 1.000.000 = Rp5.000.000,-

Zakat tersebut dikeluarkan satu tahun sekali, selama emas itu masih disimpan dan menjadi milik ibu tersebut.

b. Zakat Emas dan Perak yang Menjadi Perhiasan

Para ulama berbeda pendapat tentang wajib tidaknya zakat terhadap perhiasan yang terbuat dari emas dan perak yang biasa dipakai oleh perempuan. Jika perhiasan emas dan perak itu sudah mencapai nisab dan haul, maka mayoritas ulama bersepakat akan kewajiban zakatnya. Namun, jika perhiasan emas dan perak itu tidak mencapai nisab, ada ulama yang tidak mewajibkan mengeluarkan zakatnya. Di samping itu, ada juga ulama yang justru mewajibkannya. Perbedaan pendapat itu terjadi di kalangan para sahabat, para tabi’in, serta para fuqaha (ahli fikih). Namun, kondisi seperti itu hendakklah kita lihat pendapat yang memiliki dalil yang kuat berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Amr bin ‘Ash menjelaskan:

أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ r وَمَعَهَا ابْنَةٌ لَهَا وَفِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ r وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ

Bahwa seorang perempuan mendatangi Rasulullah saw. bersama anak perempuannya, dan di tangan anak perempuan itu terdapat dua buah gelang emas yang berat. Maka, Rasulullah saw. berkata kepadanya: ‘Apakah telah ditunaikan zakat (benda) ini?’ Perempuan itu menjawab: ‘Tidak!’ Lalu Nabi saw. bersabda: ‘Apakah kamu gembira jika Allah menggelangi kamu di hari kiamat dengan gelang neraka?’ Kemudian perempuan itu mencopot kedua gelang tersebut dan menyerahkannya kepada Nabi saw. dan ia berkata: ‘Kedua gelang ini milik Allah dan Rasul-Nya.” (HR Abu Daud)

Sebuah hadits diriwayatkan oleh Abu Daud dan ad-Daruqutni menjelaskan:

دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ أُمُّ المُؤْمِنِيْنَ فَقَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللَّهِ r فَرَأَى فِى يَدِي سِخَابًا مِنْ وَرَقٍ فَقَالَ: أَتُؤَدِّيْنَ زَكَاتَهُ؟ فَقُلْتُ: لاَ، أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى. فَقَالَ: هُوَ حَسْبُكِ مِنَ النَّارِ

Aku masuk ke rumah Aisyah Ummul Mukminin, Beliau berkata: Rasulullah saw. masuk ke rumahku, Beliau melihat di tanganku ada cincin dari perak, Beliau bersabda: Apakah engkau keluarkan zakatnya? Aku menjawab, tidak! atau maasya Allah Ta’ala. Nabi saw. bersabda: menjadi sebab engkau masuk neraka.” (HR Abu Daud dan ad-Daruqutni)

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, nyatalah bahwa setiap perhiasan yang dimiliki oleh seseorang wajib dikeluarkan zakatnya, berapa pun beratnya. Maka dengan demikian, setiap orang yang membeli perhiasan dari emas atau perak, wajib mengeluarkan zakatnya 2,5% sebelum dipakai.

Contoh:

Seorang perempuan membeli perhiasan kalung emas seberat 5 gram seharga Rp5.000.000,-. Maka, setelah ia membeli dan sebelum dipakai, wajib dikeluarkan zakatnya, yaitu:

2,5% x Rp5.000.000 = Rp125.000

Dengan demikian, setiap orang yang memiliki emas dan perak wajib mengeluarkan zakatnya. Setiap pembelian emas dan perak, berapapun beratnya, wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun selama emas dan perak itu dimiliki dan/atau dijadikan sebagai investasi, maka wajib dikeluarkan zakatnya setiap tahun (haul) jika telah mencapai nisab.

c. Zakat Uang

Menurut pendapat para ulama Hanafiah dan Malikiah, zakat uang ini merupakan zakat emas dan perak karena uang pada zaman Rasul terbuat dari emas dan perak. Jika pada saat ini negara Indonesia memberlakukan uang kertas dan logam, maka dalam jumlah tertentu tetap dianggap senilai dengan uang emas dan perak sehingga kewajiban zakatnya tetap berlaku.

Menurut ulama Syafi’iah, “Tidak wajib zakat karena uang kertas adalah hawalah (tanda penukaran) yang tidak sahih karena tidak ada ijab dan qabul, kecuali apabila telah ditukar dengan emas atau perak dan telah berlaku waktunya satu tahun”. Menurut ulama Hambaliah, “Tidak wajib zakat, melainkan apabila telah ditukar dengan emas atau perak”. Pendapat yang tidak mewajibkan zakat berdasarkan illat (alasan hukum) yang mereka kemukakan, yakni tak adanya ijab dan qabul yang sangat lemah itu mengakibatkan hak fakir miskin dari tumpukan kekayaan orang-orang kaya, terambil atau tertahannya di kantong orang-orang kaya.

Pendapat ulama-ulama yang mewajibkan itu kiranya lebih maslahat dan lebih ikhtiyati (hati-hati) dan lebih mendekatkan kepada kesadaran dan ketakwaan kepada Allah Swt.. A. Hassan pun berpendapat: “Adapun harta kekayaan yang berupa uang bukan dari emas dan perak, dan yang berupa uang kertas, atau yang menjadi simpanan di bank, hendaklah dikeluarkan zakatnya menurut ukuran uang emas dan perak tersebut”.

Zakat uang ini wajib dikeluarkan jika sudah mencapai nisab dan haul. Nisab uang adalah seharga emas 90 gram atau perak 600 gram. Kadar zakatnya 2,5% dan dikelaurkan setiap satu tahun sekali.

Contoh:

Pak Ahmad memiliki uang tabungan di sebuah Bank Syariah sebagai berikut.

Tanggal

Debet

Kredit

Saldo

01/02/20

200.000.000

 

200.000.000

10/05/20

 

20.000.000

180.000.000

20/06/20

 

50.000.000

130.000.000

02/07/20

2.000.000

 

132.000.000

13/08/20

 

10.000.000

122.000.000

04/10/20

 

2.000.000

120.000.000

20/11/20

20.000.000

 

140.000.000

31/01/21

10.000.000

 

150.000.000

Jika asumsi harga emas adalah Rp1.000.000/gram, maka nisabnya adalah: 90 x Rp1.000.000 = Rp90.000.000,-

Dengan demikian, tabungan Pak Ahmad sudah mencapai nisab dan juga haul. Dengan demikian, wajib dikeluarkan zakatnya dengan perhitungan sebagai berikut:

Saldo terakhir: Rp150.000.000,-

Kewajiban zakatnya: 2,5% x Rp150.000.000,- = Rp3.750.000,-

Deposito, saham, obligasi, dan uang tunai yang disimpan di rumahnya sendiri, termasuk dalam kategori zakat uang. Oleh karena itu, pemilik uang dalam berbagai bentuknya wajib mengelaurkan zakatnya jika telah mencapai nisab dan haulnya.

2. Zakat Hasil Bumi/Pertanian (Ziro’ah)

Mengenai zakat tumbuh-tumbuhan, Allah Swt. telah menetapkannya dalam al-Qur’an, yakni:

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun, dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan yang tidak sama (rasanya). Makanlah buahnya (yang bermacam-macam itu) bila berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (QS al-An’am [6]: 141)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (zakatkanlah) sebagian yang baik-baik dari harta yang kamu usahakan dan dari apa yang Kami keluarkan untuk kamu dari bumi...” (QS al-Baqarah [2]: 267)

a. Hasil Bumi yang Wajib Dizakati

Ada perbedaan pendapat mengenai hasil bumi yang wajib dikeluarkan zakatnya. Ada yang berpendapat zakat hasil bumi hanya wajib untuk empat jenis, yaitu gandum, jelai, kurma, dan kismis. Ada juga yang mengatakan bahwa zakat diwajibkan terhadap semua hasil bumi.  Hal tersebut sebagaimana pemdapat Imam Abu Hanifah, “Zakat itu wajib terhadap tumbuh-tumbuhan yang ditumbuhkan oleh bumi, baik berupa biji-bijian, buah-buahan, maupun bunga, selain dari tiga, yaitu kayu api, buluh, dan rumput”.

Dalam masalah ini, kiranya pendapat Imam Abu Hanifah paling kuat dengan memerhatikan firman Allah Swt. dalam surah al-An’am ayat 141 yang telah disebutkan. Dalam ayat itu, Allah Swt. menerangkan tentang berbagai macam tumbuhan (hasil bumi) dengan berbagai jenisnya. Dan, yang dimaksud dengan perintah untuk menunaikan haknya ialah mengeluarkan zakatnya.

Dengan demikian, segala macam hasil bumi, baik berupa biji-bijian, buah-buahan, serta sayuran wajib dikeluarkan zakatnya. Hal tersbeut karena semua jenis itu termasuk hasil bumi yang wajib dikenai zakat.

b. Nisab, Kadar, dan Haul Zakat Hasil Bumi

Hasil bumi wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nisabnya, yaitu 5 wasak (750 kg). Adapun kadar zakatnya ada dua macam, yaitu:

1)  Pertama, jika pengairannya alamiah (oleh hujan atau mata air), maka kadar zakatnya adalah 10%.

2)  Kedua, jika pengairannya oleh tenaga manusia atau binatang, maka kadar zakatnya adalah 5%.

Perhatikanlah dalil-dalil berikut ini.

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةٍ أَوْسَقٍ مِنْ تَمْرٍ وَلاَ حَبٍّ صَدَقَةً

Kurma atupun biji-bijian yang jumlahnya kurang dari lima wasak (650 kg) tidak ada zakatnya.” (HR Muslim)

فِيمَا سَقَتْ السَّمَاءُ وَالْأَنْهَارُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ بَعْلًا الْعُشْرُ وَفِيمَا سُقِيَ بِالسَّوَانِي أَوْ النَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ

Yang diairi oleh air hujan, mata air, atau air tanah zakatnya 10%. Sedangkan yang diairi oleh penyiraman, zakatnya 5%.” (HR Abu Daud)

Adapun waktu pengeluaran zakat hasil bumi adalah ketika panen. Hal tesebut sebagaimana keterangan dalam surah al-An’am ayat 141, “...dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)...”.

Dalam menggarap hasil bumi, para petani biasa mengeluarkan biaya operasional. Maka, apakah biaya operasional itu dikurangkan dahulu sebelum dihitung zakatnya atau langsung dihitung tanpa dikurangi biaya operasional?

Menurut Imam Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi’i adalah sebagai berikut:

Yang mempunyai tumbuh-tumbuhan tidak boleh menghitung dulu belanja operasional yang telah dikeluarkan. Zakat langsung dihitung dari penghasilan bersih.”

Sedangkan menurut Ibnu Umar r.a. adalah sebagai berikut:

يُبْدَأُ بِمَا اسْتَقْرَضَ فَيَقْضِيْهِ وَيُزَكِّي مَا بَقِيَ

Ia mulai dengan membayar utangnya dan ia zakati sisanya.”

Ibnu Abbas r.a. juga berpendapat senada, yakni:

يَقْضِي مَا أَنْفَقَ عَلَى الثَّمَرَةِ ثُمَّ يُزَكِّى مَا بَقِيَ

Ia bayar apa yang telah ia keluarkan untuk belanja tumbuh-tumbuhan, kemudian ia zakati sisanya.”

Maka, menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, biaya operasional dikurangkan daripenghasilan panen, kemudian dihitung zakatnya setelah dikurangkan biaya operasional tersebut. Namun, jika kita ingin lebih hati-hati, maka sebaiknya zakat itu dihitung dari penghasilan kotor.

Contoh:

Pak Darlis  mempunyai kebun sayur mayur seluas 10 ha. Ketika panen, ia mendapatkan hasil sebanyak 5 ton, yakni seharga Rp20.000.000,- (asumsi harga per kg= Rp4.000,-). Maka, perhitungan zakatnya adalah sebagai berikut.

Hasil Panen

Kadar Zakat

5%

10%

5 ton = Rp20.000.000,-

5% x 20.000.000 =

Rp1.000.000,-

10% x 20.000.000 =

Rp2.000.000,-

 

Zakat yang dikeluarkan bisa berupa hasil panen atau dikonversi dalam bentuk uang seharga kadarnya.

3. Zakat Barang Galian (Ma’adin)

Adapun yang dimaksud dengan barang galian (ma’adin), yaitu segala yang dikeluarkan dari bumi yang berharga, seperti timah, besi, emas, perak, minyak, gas, batu bara, dan lain sebagainya. Adapula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ma’adin itu ialah segala sesuatu yang dikeluarkan (didapatkan) oleh seseorang dari laut atau dari darat selain tumbuh-tumbuhan dan makhluk bernyawa.

Zakat barang galian dikeluarkan setiap men­dapatkannya tanpa nisab dan kadar zakatnya 2,5%. Perhatikanlah dalil berikut.

أَنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ r أَقْطَعَ بِلَالَ بْنَ الْحَارِثِ الْمُزَنِيَّ مَعَادِنَ الْقَبَلِيَّةِ وَهِيَ مِنْ نَاحِيَةِ الفُرُوْعِ فَتِلْكَ المَعَادِنُ لاَ يُؤْخَذُ مِنْهَا إِلاَّ الزَّكَاةُ إِلَى اليَوْمِ

Bahwa Rasulullah saw. telah menyerahkan ma’aadin qabaliyah kepada Bilal bin al-Harits al-Muzanniy, ma’aadin itu hingga kini tidak diambil darinya, melainkan zakat saja.” (HR Abu Daud dan Malik)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa barang galian itu ada zakat­nya dan menyatakan bahwa dari barang galian itu tidak diambil melainkan zakat saja. Dari kedua keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa zakat yang diambil dari barang galian itu adalah zakat emas dan perak, yaitu 2,5%.

Pemahaman ini dikuatkan oleh satu riwayat dari Bukhari berikut:

وَأَخَذَ عُمَرَ بْنُ عَبْدِ العَزِيْزِ مِنَ المَعَادِنِ مِنْ كُلِّ مِأَئَتَيْنِ خَمْسَةً

Sesungguhnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengambil zakat barang galian sebanyak lima dari tiap-tiap dua ratus/2,5%.”

4. Zakat Harta Temuan/Harta Karun (Rikaz)

Harta temuan (rikaz) sering dikenal dengan istilah harta karun. Harta temuan tersebut tidak ada nisab dan haul. Kadar zakat yang harus dikeluarkan adalah 20%.

إِنَّ النَّبِيَّ r قَالَ فِى كَنْزٍ وَجَدَهُ رَجُلٌ فِى خِرْبَةٍ: إِنْ وَجَدْتَهُ فِى قَرْيَةٍ مَسْكُوْنَةٍ فَعَرِّفْهُ وَإِنْ وَجَدْتَهُ فِى قَرْيَةٍ غَيْرَ مَسْكُوْنَةٍ فَفِيْهِ وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ

Sesungguhnya Nabi saw. bersabda mengenai harta kanzun (simpanan lama) yang didapatkan seseorang di tempat yang tidak didiami orang: Jika engkau dapatkan harta itu di tempat yang didiami orang, hendaklah engkau beritahukan. Dan jika engkau dapatkan harta itu di tempat yang tidak didiami orang, maka di situlah wajib zakat dan pada harta rikaz (barang temuan) zakatnya 1/5.” (HR Ibnu Majah)

Maksud dari hadits si atas adalah barangsiapa yang mendapatkan dalam suatu penggalian harta simpanan orang bahari atau me­nemukannya di suatu desa yang tidak didiami orang, maka wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 1/5 atau 20%. Zakat barang temuan tersebut dikeluarkan oleh penemunya sekali saja ketika menemukannya.

5. Zakat Binatang Ternak

Seseorang yang memelihara hewan ternak (beternak) wajib mengeluarkan zakatnya berdasarkan dalil berikut:

مَا مِنْ رَجُلٍ تَكُونُ لَهُ إِبِلٌ أَوْ بَقَرٌ أَوْ غَنَمٌ لَا يُؤَدِّي حَقَّهَا إِلَّا أُتِيَ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْظَمَ مَا تَكُونُ وَأَسْمَنَهُ تَطَؤُهُ بِأَخْفَافِهَا وَتَنْطَحُهُ بِقُرُونِهَا كُلَّمَا جَازَتْ أُخْرَاهَا رُدَّتْ عَلَيْهِ أُولَاهَا حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ

Tidak ada seorang lelaki yang emmpunyai unta, lembu, atau kambing yang tidak diberikan zakatnya, melainkan datanglah binatang-binatang itu pada hari kiamat keadaannya lebih gemuk dan lebih besar dibandingkan ketika di dunia, lalu mereka menginjak-injaknya dengan telapak-telapaknya dan menanduknya dengan tanduk-tanduknya setelah binatang-binatang itu berbuat demikian, diulanginya lagi dan demikianlah terus-menerus hingga Allah selesai menghukum para manusia.” (HR Bukhari)

Binatang ternak yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah apa yang di dalam bahasa Arab disebut al-An’am, yakni binatang yang dipelihara untuk diambil manfaatnya. Binatang-binatang tersebut, di antaranya unta, sapi/kerbau/lembu, kambing/domba/biri-biri.

فِى كُلِّ إِبِلٍ سَائِمَةٌ فِى كُلِّ أَرْبَعِيْنَ إِبْنَةُ لَبُونٍ

Setiap unta yang digembalakan, zakatnya setiap 40 ekor adalah seekor anak unta betina yang selesai menyusu.” (HR Ahmad, Nasa’i, dan Abu Daud)

وَفِى الغَنَمِ فِى أَرْبَعِيْنَ شَاةٍ شَاةٌ, فَإِنْ لَمْ يَكُنْ إِلاَّ تِسْعٌ وَثَلاَثُوْنَ فَلَيْسَ عَلَيْكَ فِيْهَا شَيْءٌ

“...dan pada kambing yang digembalakan, bisa ada 40 ekor, zakatnya seekor kambing. Jika hanya punya 39 ekor, maka tidak kena kewajiban zakat.” (HR AbuDaud)

Zakat ternak ini dikeluarkan setiap tahun dan apabila telah mencapai nisab, untuk lebih jelas memahami zakat ternak, perhatikanlah tabel berikut.

Ternak Unta

Nisab

Zakat

Setiap 5 ekor

1 ekor kambing

25-35 ekor

1 ekor unta betina berumur 1 tahun

36-45 ekor

1 ekor unta jantan berumur masuk tahun ke-3

46-60 ekor

1 ekor unta betina berumur masuk tahun ke-4

61-75 ekor

1 ekor unta betina berumur masuk tahun ke-5

76-90 ekor

2 ekor unta jantan berumur masuk tahun ke-3

91-120 ekor

2 ekor unta betina yang sudah keluar air susunya

 

Catatan:

•   Kurang dari 5 ekor tidak wajib zakat.

•   Lebih dari 120 ekor, setiap 40 ekor, zakatnya satu ekor unta jantan berumur masuk tahun ke-3 dan untuk setiap 50 ekor, zakatnya sebanyak satu ekor unta betina berumur masuk tahun ke-4.

Ternak Sapi/Kerbau

Nisab

Zakat

Setiap 30 ekor

1 ekor sapi/kerbau berumur 1 tahun

Setiap 40 ekor

1 ekor sapi/kerbau berumur 2 tahun

 

Ternak Kambing/Domba/Biri-Biri

Nisab

Zakat

40-80 ekor

1 ekor kambing/domba/biri-biri

121-200 ekor

2 ekor kambing/domba/biri-biri

201-300 ekor

3 ekor kambing/domba/biri-biri

Setiap 301>

Ditambah 1 ekor setiap pertambahan 100 ekor

 

6. Zakat Perdagangan (Tijaroh)

Ketentuan zakat perdagangan ini adalah tidak ada nisab karena diambil dari modal (harga beli) sebesar 2,5%. Adapun waktu pem­bayaran zakatnya bisa ditangguhkan sampai satu tahun atau dibayarkan secara periodik (bulanan, triwulan, atau semester) setiap setalah belanja atau setelah diketahui barang yang sudah laku terjual. Zakat yang dikeluarkan bisa berupa barang dagangan atau uang seharga barang tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

مَا مَعْشَرَ التُّجَارِ إِنَّ البَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَ الْحَلْفُ فَشَوِّبُوْهُ بِالصَّدَقَةِ

Wahai para pedagang! Sesungguhnya jual-beli itu selalu dihadiri (disertai) kemaksiatan dan sumpah. Oleh karena itu, kamu wajib mengimbanginya degan sedekah (zakat).” (HR Ahmad)

كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِيْ نُعِدُّ لِلْبَيْعِ

Adalah Rasulullah saw. menyuruh kami mengeluarkan zakat dari apa yang telah disediakan untuk dijual.” (HR Abu Daud)

Contoh:

Seorang pengusaha clothing membuat t-shirt sebagai modal untuk dijual. Jumlah t-shirt yang dibuat adalah 120 pcs. Modal 1 pcs t-shirt sebesar Rp. 25.000,-. T-shirt yang terjual sebanyak 100 pcs. Maka, zakat yang harus dikeluarkan adalah sebagai berikut:

2,5% x 100 pcs = 2,5 pcs. 2,5 pcs x Rp25.000,- = Rp62.500,-

Ada juga yang menghitung dari modal keseluruhan dan langsung mengeluarkan zakatnya setelah berbelanja tanpa memerhatikan apakah barangnya terjual atau tidak. Maka, dalam hal ini mengeluarkan zakat dengan jumlah yang lebih banyak akan jauh lebih baik di sisi Allah Swt.

Namun terkadang, 2,5% dari modal tersebut tidak seimbang degan pendapatan keuntungan sehingga zakat yang harus dikeluarkan lebih besar dari keuntungan yang didapat. Contohnya, pedagang voucher pulsa handphone dengan modal Rp100.000,- dia menjual voucher seharga Rp102.000,- sehingga keuntungan yang didapat sebesar Rp2.000,-. Padahal, zakat yang mesti dikeluarkan dari modalnya adalah Rp2.500,- (2,5% x Rp100.000,-). Maka jika zakatnya ditunaikan, pedagang tersebut otomatis mengalami kerugian.

Pada prinsipnya, Islam tidak bermaksud menyulitkan. Justru, Islam hadir mrmudahkan berbagai urusan. Adapun untuk kasus seperti di atas, tidak berarti pedagang tersebut bebas dari kewajiban zakatnya. Namun, tetap wajib mengeluarkan zakatnya dengan penyesuaian kemampuannya. Tentu saja, dalam hal ini kejujuran jadi pegangan.

وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Dan Apabila kalian diperintah sesuatu, maka kerjakanlah sekemampuan kalian.” (HR Bukhari)

Allah Swt. pun berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ ۗ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Maka bertakwalah kepada Allah sekemampuanmu, dengarlah, taatlah, dan infakkanlah hartamu untuk kebaikan karena barang siapa selamat dari kebakhilan dirinya, maka mereka itu ialah orang-orang yang mendapat kejayaan.” (QS at-Thagabun [64]: 16)

Abu Kilabah menjelaskan, bahwa pada zaman Khalifah Umar r.a., ada beberapa gubernur melaporkan kepadanya bahwa banyak para pedagang mengeluh karena jumlah zakat yang mesti dibayarkan terlalu banyak/besar. Maka, khalifah Umar r.a. berkata: “Ringankanlah!”. Kasus yang diceritakan tadi, tidak berarti kadar zakat pedagang berubah dari 2,5% menjadi 1%. Akan tetapi, pernyataan khalifah Umar r.a. tersebut hanyalah sebuah kedaruratan dalam kasus tertentu.

Namun, pada kasus lain, justru 2,5% dari modal itu terasa ringan, seperti barang dagangan dengan modal Rp. 25.000,- tapi dijual seharga Rp. 75.000,-. Dalam kasus tersebut, zakat begitu ringan dibandingkan dengan keuntungan yang didapat.

Dalam hal ini, karena zakat merupakan ibadah ta’abudi (irasional) dan bukan ta’aqquli (rasional), maka keimanan yang menjadi dasar seseorang mampu mengeluarkan zakat dan bukan didasari dari besar-kecilnya keuntungan yang didapat.

Tunaikan zakat secara langsung tampa ribet dengan cara klik link di bawah ini...

Link Bayar Zakat

Penulis: Hafidz Fuad Halimi
Tags: lazpersis info zakat zakat jenis zakat

Berita Lainnya

Mitra LAZ Persatuan Islam
WhatsApp