Umayyah ibn Abis-Shalt sudah memeluk Nashrani di masa Jahiliyyah dan mengajarkan akan ada Nabi terakhir dari penduduk Makkah. Ketika Nabi Muhammad SAW diutus ia pun jujur berterus terang bahwa beliau adalah Nabi terakhir yang diutus Allah SWT. Akan tetapi sampai akhir hayatnya ia terus ragu untuk menyatakan syahadat karena ia semula menginginkan agar dirinya yang menjadi Nabi. Ia pun memilih kafir sampai kematiannya. Jadinya Umayyah beriman dalam kekafiran.
Umayyah ibn Abis-Shalt adalah seorang tokoh dari bani Tsaqif, Tha`if, salah satu kota besar di Arab, yang kebesaran kotanya menyamai Makkah saat itu. Ia semula orang baik yang aktif meneliti agama yang benar sebagaimana halnya Waraqah ibn Naufal dan Zaid ibn ‘Amr ibn Nufail. Jika Zaid ibn ‘Amr memilih agama hanif Ibrahim as, maka Waraqah dan Umayyah ini memilih beragama Nashrani. Ia juga aktif mengajarkan kepada umatnya akan diutusnya seorang Nabi terakhir dari bangsa Arab, dan ia berharap semoga Nabi itu adalah dirinya sendiri. Itu karena ia merasa pantas untuk menjadi Nabi dan Tha`if pun mendukung untuk dijadikan sebagai pusat ajaran kenabian. Maka dari itu Allah swt pernah menyinggung dalam salah satu ayat al-Qur`an:
وَقَالُواْ لَوۡلَا نُزِّلَ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ عَلَىٰ رَجُلٖ مِّنَ ٱلۡقَرۡيَتَيۡنِ عَظِيمٍ ٣١
Dan mereka berkata: “Mengapa Al-Qur`an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Tha`if) ini?” (QS. az-Zukhruf [43] : 31)
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari bab ‘alamatin-nubuwwah mengutip riwayat at-Thabrani dari Mu’awiyah, dari ayahnya, Abu Sufyan ra, bahwa Umayyah ketika bertemu dengan Abu Sufyan di Gaza atau Yerussalem, Palestina, pernah menanyakan tentang ‘Utbah ibn Rabi’ah. Setelah dijelaskan oleh Abu Sufyan, Umayyah kemudian berkata:
إِنِّي كُنْتُ أَجِدُ فِي كُتُبِي نَبِيًّا يُبْعَثُ مِنْ حَرَّتِنَا هَذِهِ فَكُنْتُ أَظُنُّ، بَلْ كُنْتُ لَا أَشُكُّ أَنِّي هُوَ، فَلَمَّا دَارَسْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ إِذَا هُوَ مِنْ بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ فَنَظَرْتُ فِي بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، فَلَمْ أَجِدْ أَحَدًا يَصْلُحُ لِهَذَا الْأَمْرِ غَيْرَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ، فَلَمَّا أَخْبَرْتَنِي بِسِنِّهِ عَرَفْتُ أَنَّهُ لَيْسَ بِهِ حِينَ جَاوَزَ الْأَرْبَعِينَ، وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ
“Saya menemukan dalam kitab-kitabku akan ada seorang Nabi diutus dari negeri kita ini. Aku mengira dan tidak ragu lagi bahwa aku adalah orang itu. Tetapi setelah aku mendiskusikan kembali kepada para ahli ilmu ternyata Nabi terakhir itu akan datang dari bani ‘Abdi Manaf (bangsa Quraisy). Lalu aku meneliti di bani ‘Abdi Manaf tidak ada seorang pun yang layak dengan peran itu selain ‘Utbah ibn Rabi’ah. Tetapi setelah anda memberitahukan kepadaku usianya, aku yakin bahwa ia bukan orang itu, karena ia sudah lewat dari 40 tahun dan tidak kunjung mendapatkan wahyu.”
Setelah berlalu beberapa tahun, Abu Sufyan ra menceritakan lagi:
فَضَرَبَ الدَّهْرُ مَنْ ضَرَبَهُ، وَأُوحِيَ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ وَخَرَجْتُ فِي رَكْبٍ مِنْ قُرَيْشٍ أُرِيدُ الْيَمَنَ فِي تِجَارَةٍ، فَمَرَرْتُ بِأُمَيَّةَ بْنِ أَبِي الصَّلْتِ، فَقُلْتُ لَهُ كَالْمُسْتَهْزِئِ بِهِ: يَا أُمَيَّةُ، قَدْ خَرَجَ النَّبِيُّ الَّذِي كُنْتَ تَنْتَظِرُ، قَالَ: أَمَا إِنَّهُ حَقٌّ فَاتَّبِعْهُ. قُلْتُ: مَا يَمْنَعُكَ مِنَ اتِّبَاعِهِ؟ قَالَ: مَا يَمْنَعُنِي مِنَ اتِّبَاعِهِ إِلَّا الِاسْتِحْيَاءُ مِنْ نَسَيَاتِ ثَقِيفٍ، إِنِّي كُنْتُ أُحَدِّثُهُنَّ أَنِّي هُوَ، ثُمَّ يُرِيَنَّنِي تَابِعًا لِغُلَامٍ مِنْ بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ
Lalu berlalu masa dan diturunkan wahyu kepada Rasulullah saw. Ketika aku keluar bersama rombongan Quraisy menuju Yaman untuk berdagang, aku bertemu dengan Umayyah ibn Abis-Shalt. Aku berkata kepadanya dengan menyindirnya: “Hai Umayyah, sungguh telah diutus Nabi yang dari dulu kamu tunggu.” Ia menjawab: “Sungguh benar ia seorang Nabi, maka ikutilah ia.” Aku bertanya: “Lalu apa yang menghalangimu dari mengikutinya?” Ia menjawab: “Tidak ada yang menghalangiku dari mengikutinya kecuali rasa malu dari kaum ibu-ibu Tsaqif. Dahulu aku memberitahu mereka bahwa akulah yang akan jadi Nabi itu, tetapi kemudian mereka melihatku menjadi pengikut seorang anak muda dari bani ‘Abdi Manaf!?” (al-Mu’jamul-Kabir at-Thabrani bab as-shad Shakhr ibn Harb no. 7262).
Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengutip riwayat dari al-Ashbahani dalam Fathul-Bari bab ayyamil-jahiliyyah bahwa Umayyah berkata menjelang kematiannya:
أَنَا أَعْلَم أَنَّ الْحَنِيفِيَّة حَقّ وَلَكِنَّ الشَّكّ يُدَاخِلنِي فِي مُحَمَّد
Saya tahu bahwa Hanifiyyah (agama Ibrahim—red) itu benar, tetapi keraguan merasukiku dalam hal Muhammad.
Umayyah ibn Abis-Shalt terkenal sebagai penggubah sya’ir dan ada banyak sya’ir yang telah dibuatnya. Sya’ir-sya’irnya berisi tentang tauhid dan keimanan pada hari kiamat. Al-Fari’ah binti Abis-Shalt, saudari Umayyah, pernah membacakan beberapa sya’irnya di hadapan Nabi saw. Beliau lalu bersabda:
آمَنَ شِعْرُهُ وَكَفَرَ قَلْبُهُ
“Sya’irnya beriman, tetapi hatinya kafir.”
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari shahabat as-Syarid:
رَدِفْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَوْمًا فَقَالَ هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةَ بْنِ أَبِى الصَّلْتِ شَيْئًا. قُلْتُ نَعَمْ قَالَ هِيهِ. فَأَنْشَدْتُهُ بَيْتًا فَقَالَ هِيهِ. ثُمَّ أَنْشَدْتُهُ بَيْتًا فَقَالَ هِيهِ. حَتَّى أَنْشَدْتُهُ مِائَةَ بَيْتٍ
Aku dibonceng Rasulullah saw pada suatu hari, lalu beliau bertanya: “Adakah padamu sya’ir Umayyah ibn Abis-Shalt walau sedikit?” Aku menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Senandungkan.” Lalu aku menyenandungkan satu bait. Beliau bersabda: “Tambah lagi.” Lalu aku menyenandungkan bait lainnya. Beliau bersabda lagi: “Tambah lagi.” Sampai aku menyenandungkan 100 bait (Shahih Muslim kitab as-syi’r no. 6022).
Dalam sanad lain, Nabi saw kemudian memberi komentar:
فَلَقَدْ كَادَ يُسْلِمُ فِى شِعْرِهِ
“Sungguh hampir saja ia masuk Islam dengan sya’irnya.” (Shahih Muslim kitab as-syi’r no. 6024).
Tetapi sampai kematiannya pada tahun 9 H ia tidak pernah mengucapkan syahadat. Bahkan ketika lewat makam kaum musyrik korban perang Badar ia meratapi kematian mereka dan berkabung atas mereka. Sebuah pertanda yang jelas bahwa ia memilih kufur. Ilmunya tidak menjadi penuntun untuknya pada iman yang tulus dan amal shalih. Apa yang terjadi pada Umayyah ini, menurut shahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash, sudah diingatkan Allah swt dalam al-Qur`an:
وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱلَّذِيٓ ءَاتَيۡنَٰهُ ءَايَٰتِنَا فَٱنسَلَخَ مِنۡهَا فَأَتۡبَعَهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡغَاوِينَ ١٧٥ وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِئَايَٰتِنَاۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ١٧٦
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir (QS. al-A’raf [7] : 175-176).
Catatan: Terkait Nabi saw yang meminta Syarid menyenandungkan bait sya’ir ciptaan Umayyah, Imam an-Nawawi menjelaskan:
وَمَقْصُودُ الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيّ ﷺ اِسْتَحْسَنَ شِعْر أُمَيَّة وَاسْتَزَادَ مِنْ إِنْشَاده لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِقْرَار بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالْبَعْث، فَفِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ وَسَمَاعه سَوَاء شِعْر الْجَاهِلِيَّة وَغَيْرهمْ، وَأَنَّ الْمَذْمُوم مِنْ الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ إِنَّمَا هُوَ الْإِكْثَار مِنْهُ وَكَوْنه غَالِبًا عَلَى الْإِنْسَان. فَأَمَّا يَسِيره فَلَا بَأْس بِإِنْشَادِهِ وَسَمَاعه وَحِفْظه
Maksud hadits di atas bahwasanya Nabi saw menilai baik sya’ir Umayyah dan minta ditambah lagi disenandunhkan karena isinya meneguhkan tauhid dan hari kebangkitan. Ini jadi dalil bolehnya menyenandungkan sya’ir yang tidak ada penyimpangan di dalamnya dan mendengarnya, baik itu sya’ir jahiliyyah atau lainnya. Yang tercela dari sya’ir yang tidak mengandung penyimpangan itu adalah memperbanyaknya dan menjadikannya rutinitas bagi seseorang. Adapun yang sedikit maka tidak salah menyenandungkannya, mendengarnya, dan menghafalnya (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim kitab as-syi’r). Wal-‘Llahu a’lam.
Sumber : at-taubah.com
Darurat Kemanusiaan Gaza Palestina KLIK DISINI
Baca juga DARURAT KEMANUSIAAN JALUR GAZA, PERSIS SALURKAN BANTUAN BAHAN POKOK MAKANAN DAN OBAT-OBATAN DARURAT
Penulis: Rani Nurul Hudayanti
Tags:
amal
sahabatnabi
kisahteladan