Panduan Ringkas tentang Fikih Kurban


Penulis: K.H. Dr. Haris Muslim, Lc., M.A.
05 Jun 2023
Bagikan:
By: K.H. Dr. Haris Muslim, Lc., M.A.
05 Jun 2023
1918 kali dilihat

Bagikan:

Bulan Dzulhijjah identik dengan beberapa ibadah yang secara khusus disyariatkan pada bulan tersebut, seperti Haji, Shaum Arafah, dan Qurban. Baik Qurban ataupun Haji mempunyai akar sejarah yang sama, yaitu perjuangan Nabi Ibrahim a.s. dengan keluarganya dalam menegakkan ajaran tauhid, yang kemudian diabadikan dalam syariat. Sebagai ibadah yang selalu terulang setiap setahun sekali, ibadah di bulan Dzulhijjah perlu mendapatkan perhatian khusus dari kaum muslimin berkenaan dengan hukum Islam seputar syariat tersebut agar menjadi panduan di dalam pelaksanaanya. Tulisan singkat ini akan mencoba memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah Qurban, terutama dari perspektif hukum Islam (fiqih).

Makna Qurban

Secara bahasa, Qurban diambil dari kalimat Qarraba, Yuqarribu, Qurbaanan yang berarti mendekatkan diri, seperti disebutkan dalam firman Allah Swt.:

إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ

“ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil)."  (QS Al-Maidah : 27)

Dalam bahasa fiqih, Qurban sering disebut dengan “Udhiyah” yang berarti sembelihan. Disebut juga “Nahr” sebagaimana firman Allah Swt.:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2)

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsar : 2)

Adapun yang dimaksud dengan Udhiyah atau Qurban secara syariat adalah  hewan yang khusus disembelih pada saat Hari Raya Qurban ('Idul Al-Adha, 10 Dzulhijjah) dan hari-hari Tasyriq (11,12, dan 13 Dzulhijjah) sebagai upaya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt.

Qurban disyariatkan pada tahun kedua Hijriah, di tahun yang sama dengan disyariatkannya zakat dan shalat dua hari raya. Saat itu, Rasulullah keluar menuju masjid untuk melaksanakan shalat 'Idul Adha dan membaca khutbah `Id. Setelah itu, beliau berqurban dua ekor kambing yang bertanduk dan berbulu putih.

Hukum Qurban

Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum qurban adalah Sunnah Muakkadah bagi yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Sebagian ulama memang ada yang berpendapat bahwa berqurban hukumnya wajib, akan tetapi jika melihat kepada landasan dalil yang digunakan, maka pendapat yang mengatakan Sunnah Muakkadah lebih kuat.

Ketetapan hukum ini berlandaskan kepada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan sunnah. Adapun dalil dari Al-Qur’an, di antaranya firman Allah Swt.  al-Kautsar seperti disebut di atas dan juga firman Allah Swt.:

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi´ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS Al-Hajj : 36).

Adapun dalil dari sunnah, di antaranya hadis Nabi Saw.:

عَنْ أَنَسِ بنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ, أَقْرَنَيْنِ, وَيُسَمِّي, وَيُكَبِّرُ, وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا. وَفِي لَفْظٍ: ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Anas Ibnu Malik r.a. “bahwa Nabi saw. biasanya berkurban dua ekor kambing kibas bertanduk. Beliau menyebut nama Allah dan bertakbir, dan beliau meletakkan kaki beliau di atas dahi binatang itu. Dalam suatu lafadz: Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri.” (Muttafaq Alaih)

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ»

 رواه مسلم

Dari Ummu Salamah sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Jika kalian melihat hilal awal bulan Dzulhijjah, dan di antara kalian ada yang hendak menyembelih Qurban, maka hendaklah menahan untuk tidak memotong rambut dan kukunya” (HR Muslim)

Mengkaitkan ibadah Qurban dengan kehendak, dalam perkataan “wa araada ahadukum” (dan di antara kalian ada yang berkehendak) ini menunjukan bahwa hukum berqurban bukan wajib, akan tetapi sunnah. Hal tersebut mengingat keutamaan yang terkandung dalam syariat tersebut didukung oleh hadis-hadis lain, seperti peringatan Rasulullah saw. untuk tidak mendekati mushalla kami, maka sunnahnya Qurban itu termasuk kepada Sunnah Muakkadah.

Adapun larangan memotong rambut dan kuku, tidak ada kaitannya dengan sah dan tidaknya ibadah Qurban. Keterangan tersebut hanya sebatas perintah yang bersifat anjuran dan menunjukan pada sunnahnya perbuatan tersebut.

Ada sebagian yang berpendapat bahwa syariat Qurban itu adalah syariat sekali dalam seumur hidup sehingga seseorang yang pernah melaksanakan qurban satu kali, tidak perlu lagi melaksanakan kembali di tahun-tahun berikutnya. Pemahaman seperti ini tidak tepat, sebab syariat Qurban adalah syariat yang ada setiap tahun bagi mereka yang mampu, berdasarkan sabda Nabi saw., “Wahai manusia, sesungguhnya diperintahkan kepada setiap keluarga di setiap tahun untuk menyembelih Qurban” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Waktu Pelaksanaan Qurban

Waktu pelaksanaan Qurban adalah pada tanggal 10 Dzul hijjah, setelah selesai melaksanakan shalat Idul Adha. Barang siapa yang menyembelih sebelum pelaksanaan shalat Idul Adha, maka Qurbannya tidak sah, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Saw.:

وَعَنْ جُنْدُبِ بْنِ سُفْيَانَ رضي الله عنه قَالَ: ( شَهِدْتُ اَلْأَضْحَى مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ بِالنَّاسِ, نَظَرَ إِلَى غَنَمٍ قَدْ ذُبِحَتْ, فَقَالَ: مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَلْيَذْبَحْ شَاةً مَكَانَهَا, وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اَللَّهِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Jundab Ibnu Sufyan r.a., ia berkata: “Aku mengalami hari raya Adha bersama Rasulullah saw. Setelah beliau selesai shalat bersama orang-orang, beliau melihat seekor kambing telah disembelih. Beliau bersabda: ‘Barangsiapa menyembelih sebelum shalat, hendaknya ia menyembelih seekor kambing lagi sebagai gantinya; dan barangsiapa belum menyembelih, hendaknya ia menyembelih dengan nama Allah’." (Muttafaq Alaihi)

Adapun akhir waktu penyembelihan hewan Qurban adalah pada tanggal 13 Dzulhijjah sebelum matahari terbenam. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Zadul Ma’ad, bahwa Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “hari-hari menyembelih adalah hari Idul Adha dan tiga hari setelahnya” (Zadul Maad II : 291). Pendapat ini yang dipilih juga oleh kebanyakan ulama, seperti Imam Hasan Basri, Atha bin Rabah, Imam Syafii, dan Ibnu Mundzir. Berdasarkan sabda Nabi Saw., “Seluruh Mina adalah tempat menyembelih dan selama hari-hari tasyriq adalah waktu menyembelih”. (HR Ahmad)

Adapun teknis penyembelihannya, orang yang berkurban boleh melakukannya sendiri, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Saw. Penyembelihan boleh pula diwakilkan kepada yang lebih ahli, sebagaimana beliau mengizinkan Ali bin Abi Thalib untuk menyembelih hewan Qurban beliau. Jika penyembelihan itu diwakilkan kepada orang lain, maka dianjurkan kepada orang yang berkurban untuk menyaksikan proses penyembelihan, sebagaimana perintah beliau kepada puterinya, As-Sayyidah Fatimah.

Kriteria Hewan Qurban

Hewan yang dapat digunakan untuk Qurban sudah ditentukan oleh syariat, yaitu unta, sapi (termasuk kerbau), dan kambing/domba. Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak. Seekor sapi boleh dijadikan Qurban untuk 7 orang dan seekor unta boleh untuk 7 atau 10 orang. Sebagaimana hadis Nabi Saw.,

وَعَنْ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( نَحَرْنَا مَعَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم عَامَ اَلْحُدَيْبِيَةِ: اَلْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ, وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ )  رَوَاهُ مُسْلِم

Dari Jabir Ibnu Abdullah, ia berkata: “Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah saw. pada tahun Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang”. (HR Muslim)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: «كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي البَقَرَةِ سَبْعَةً، وَفِي البَعِيرِ عَشَرَةً» رواه الترمذي

Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah saw. dalam suatu perjalanan dan tiba waktu Idul Adha, kemudian kami berserikat untuk seekor sapi tujuh orang, dan untuk seekor unta sepuluh orang”. (HR Tirmidzi)

Adapun ketentuan umur hewan yang diqurbankan, hendaknya hewan tersebut tidak terlalu tua sehingga dagingnya sudah tidak bersum-sum, tidak juga terlalu muda.

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ )  رَوَاهُ مُسْلِم

Dari Jabir bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jangan menyembelih kecuali hewan yang umurnya masuk tahun ketiga. Bila engkau sulit mendapatkannya, sembelihlah kambing yang umurnya masuk tahun kelima”. (HR Muslim)

Kemudian hewan yang akan dikurbankan tidak boleh yang cacat, sakit, atau pincang, sebagaimana hadis Nabi saw.,

وَعَنِ اَلْبَرَاءِ بنِ عَازِبٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: ( أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اَلضَّحَايَا: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَ وَالْكَسِيرَةُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَة ُ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان َ 

Dari Al-Bara' Ibnu 'Azib r.a., ia berkata: “Rasulullah saw. berdiri di tengah-tengah kami dan bersabda: ‘Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: yang tampak jelas butanya, tampak jelas sakitnya, tampak jelas pincangnya, dan hewan tua yang tidak bersum-sum’”. (HR Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dna Ibnu Hibban)

Bahkan, Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk memeriksa mata dan telinga. Tujuannya  agar kita tidak mengurbankan hewan yang buta, yang terpotong telinga bagian depannya atau belakangnya, yang robek telinganya, serta tidak pula yang ompong gigi depannya. (HR Ahmad)

Pembagian Daging Qurban

Sembelihan Qurban disyariatkan untuk dibagikan dagingnya dalam keadaan mentah, agar penerima yang berhak dapat memanfaatkan sesuai keinginannya. Tidak boleh pula pembagian dilakukan dengan cara mengundang fakir miskin dan disuguhkan kepada mereka daging yang sudah dimasak dari hewan Qurban.

وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عنه قَالَ: ( أَمَرَنِي اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ أَقْوَمَ عَلَى بُدْنِهِ, وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا عَلَى اَلْمَسَاكِينِ, وَلَا أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئاً )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Ali Ibnu Abu Thalib r.a., ia berkata: “Rasulullah saw. memerintahkan kepadaku untuk mengurusi kurban-kurbannya; membagi-bagikan daging, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun dari kurban kepada penyembelihnya.” (Muttafaq Alaihi)

Pada awalnya, Nabi Saw. memerintahkan untuk membagikan daging Qurban dan tidak boleh menyimpannya lebih dari tiga hari, akan tetapi kemudian beliau mengizinkannya. Sebagaimana hadis berikut.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الضَّحَايَا بَعْدَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ. ثُمَّ قَالَ، بَعْدُ: «كُلُوا، وَتَزَوَّدُوا، وَادَّخِرُوا» رواه الإمام مالك

Dari Jabir bin Abdullah r.a., “sesungguhnya Rasulullah saw melarang untuk memakan daging Qurban setelah dari tiga hari, kemudian beliau bersabda setelah itu, ‘Makanlah, berbekallah, dan simpanlah’”. (HR Imam Malik)

Hadis di atas menunjukan bahwa orang yang berqurban berhak mengambil sebagian daging Qurban dan selebihnya dibagikan (disedekahkan) kepada fakir miskin. Sebagian ulama berpendapat, daging kurban didistribusikan menjadi tiga bagian, sepertiga dimakan oleh yang berkurban, sepertiga lagi untuk disimpan oleh yang berkurban, dan sepertiga yang lain disedekahkan kepada fakir miskin atau orang lain. 

Adanya hak orang yang berqurban mengambil bagian dari daging Qurban tidaklah mengurangi nilai ibadah Qurbannya karena nilai Qurban telah terwujud pada proses penyembelihan dan penumpahan darah hewan Qurban. 

Demikian di antara hukum-hukum yang terkait dengan syariat Qurban. Hal yang paling penting dari itu semua adalah Qurban dilaksanakan atas dasar ketaqwaan karena yang akan diterima oleh Allah Swt. bukan daging dan darah hewan Qurban, tetapi ketaqwaan orang yang melaksanakan Qurban.

 

Yuk, titipkan ibadah kurbanya di LAZ PERSIS dengan cara klik link di bawah ini....

Link Daftar Qurban 2024

atau tunaikan Sedekah Qurban dengan cara klik link di bawah ini...

Link Program Sedekah Qurban


Baca Juga:

Sejarah Ibadah Qurban

Qurban Jahiliyyah

Program Qurban Super Barokah (QSB): Menjaga Amanat Syariat dan Melipatgandakan Nilai Manfaat

Penulis: K.H. Dr. Haris Muslim, Lc., M.A.
Tags: qurban ibadahhaji maknaqurban iduladha

Berita Lainnya

Mitra LAZ Persatuan Islam
WhatsApp