MUNAFIK


Penulis: KH. E. Abdurrahman
27 Jul 2023
Bagikan:
By: KH. E. Abdurrahman
27 Jul 2023
479 kali dilihat

Bagikan:

Dan di antara mereka ada orang yang berjanji kepada Allah, Sesungguhnya jika Ia kami beri karunia-Nya, tentu kami shadaqahkan dan tentu kami jadi daripada orang-orang yang baik.

(QS at-Taubah [9]: 75)

 

Tetapi tatkala Allah beri kepada mereka karunia-Nya, jadilah mereka bakhil yang (mengeluarkan)-nya dan mereka berbalik belakang dalam keadaan berpaling.

"(Maka perbuatan mereka itu) Allah jadikan sebab yang mengakibatkan tertanamnya kenifaqan dalam hati. Hati mereka, hingga hari (kiamat), yaitu hari mereka bertemu menghadapi-Nya, sebab mereka menyalahi janji Allah yang telah mereka janjikan kepada-Nya dan sebab mereka berdusta.” (QS al-Baqarah [2]: 75 - 77)

Salah seorang penghuni Madinah, mendengar ayat tersebut di atas, ia terperanjat bak mendengarkan petir di tengah hari. Sungguh jauh dari sangkaan dia, bahwasanya di antara keluarganya ada mempunyai tabiat seburuk itu. Perbuatan kerabatnya itu menjadi sebab akan turunnya ayat itu.

Hatinya pedih. Bagaimanakah ia menolongnya?, "Baik segera aku peringatkan" pikirnya. Dengan segera ia mengabarkan akan perbuatan kerabatnya yang malang itu. Lalu kerabatnya diberitahu, bahwa Tuhan telah mewahyukan agar jadi peringatan bagi umat Islam.

Meski jauh dari Madinah, datanglah ia kepada kerabatnya, Tsa'labah bin Abi Hatib untuk memberi tahukan wahyu Tuhan kepadanya. Tsa'labah kini tak tinggal lagi di Madinah. Ia tinggal jauh di luar Kota Madinah sejauh hatinya dari mengingat kewajibannya.

Namun tampaknya, tidaklah hati Tsa'labah menjadi dekat pada Tuhan. Ayat itu tidak menghilangkan kenifakannya. Mungkin karena demikian cintanya ia akan hartanya, telah ia utamakan harta dari pada agama.

Tapi perkataan orang dikhawatirkannya juga. Tsa'labah khawatir dikatakan sebagai orang bakhil, kikir, dan tidak mau berzakat. Tsa'labah dengan segera mengirimkan zakat kepada Rasulullah sebagai obat perkataan orang-orang. Rasulullah rupanya mengetahui juga akan maksud Tsa'labah. Ia berzakat bukanlah dari hati nurani yang lurus, hati yang mau menebus penyesalan akibat rasa dosa, tapi perbuatannya itu hanyalah semata-mata nifaq, baik pada lahirnya tapi buruk dalam batinnya. Pepat di luar namun rancung di dalam! Oleh karena itu, Rasulullah tidaklah mau menerima zakat dari Tsa'labah tersebut.

Memang sudah sejak semula Tsa'labah telah diperingatkan oleh Rasulullah. Jauh sebelum ia menjadi orang yang kaya raya, dengan terbata-bata namun penuh harap, ia bermohon kepada Rasulullah agar dido'akan agar menjadi orang yang kaya. Ia tidak putus-putus berharap serta memohon kepada Rasulullah, meskipun dinasihati Rasulullah :

"(Harta) sedikit yang engkau dapat memenuhi syukurnya, adalah lebih baik dari pada banyak namun engkau tak kuat bersyukur akannya."

Tsa'labah mendengar nasihat tersebut, ia tetap ingin menjadi orang kaya, malah ia berjanji, "Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan hak, bila engkau do'akan aku untuk memperoleh rezeki, tentulah akan kuberikan setiap orang yang berhak untuk menerima haknya."

Tsa'labah membuka ternakan. Dalam waktu yang singkat, ternaknya berkembang biak dengan pesat sekali. Demikian banyaknya ternak miliknya sehingga terpaksa ia berpindah keluar kota Madinah untuk memperoleh tempat yang lebih luas lagi. Dipilihnya sebuah lembah yang luas, tapi tak lama kemudian, lembah yang luas itu pun menjadi sempit pula. Dicarinya yang lebih luas lagi. Pekerjaannya bertambah banyak. Kesibukannya bersambung-sambung dari hari ke hari tak ada hentinya. Akhirnya, ia tidak terlihat lagi shalat berjamaah dengan Rasulullah, kecuali pada hari Jum'at. Namun kemudian, kesibukannya serta keserakahan dalam perusahaannya membuat dirinya tak sempat pula bershalat Jum'at. Dan sejak itu, putuslah hubungan dengan kawan-kawannya. Hatinya tidak lagi mendapat siraman Qur'an.

Demikianlah, tatkala turun ayat yang memerintahkan agar zakat diambil dari orang-orang yang berkewajiban mengeluarkan untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya, Rasulullah mengutus orang untuk mengambilkan zakat Tsa'labah bersama-sama dengan dari seorang lain dari Bani Sulaim.

Utusan tiba, seraya memperlihatkan tanda pengenalnya, menyatakan bahwa dirinya utusan dari Rasulullah untuk mengambil zakatnya. Tsa'labah telah lupa akan janji yang diucapkannya dahulu, pada saat ja melarat, tatkala ia bermohon untuk dido’akan oleh Rasulullah agar menjadi orang kaya. Dan kini, ia merasa kekayaannya itu adalah semata-mata hasil jerih payah keringatnya sendiri. Oleh karena itu, dengan tidak segan-segan ia menyatakan zakat itu ialah pajak atau semacam pajak dan upeti. "Aku tidak tahu, apa ini? Pergilah dahulu, hingga engkau selesaikan pekerjaanmu, dan kelak kembalilah kemari lagi!".

Apa yang dikatakan Tsa'labah di atas nampaknya hingga kini masih terdapat duplikatnya. Terbukti hingga kini sering pula terdengar orang bila menerima orang yang mengedarkan surat edaran derma atau sumbangan berkata. "Pergilah kepada orang lain dulu. Jika telah banyak orang mengisinya kembalilah kemari lagi!"

Demikian kedua utusan Rasulullah pergi dari hadapan Tsa'labah dengan berharap kelak sekembali dari Bani Sulaim akan singgah memenuhi janji Tsa'labah. Utusan tiba ke tempat Bani Sulaim. Mereka disambut dengan penuh kegembiraan. Dengan muka yang jernih serta kata-kata yang melukiskan keikhlasan diserahkan zakatnya. Bahkan zakatnya itu lebih dari yang semestinya sehingga utusan itu berkata:

"Yang seperti ini tidak wajib atas engkau, dan kami tidak mau mengambilnya dari engkau!" Tapi orang itu menjawab, "Ambilah sebagai zakat dari aku. Sesungguhnya hatiku ikhlas dan baik. Sungguh, ini kusediakan untuk urusan (agama) itu!"

Setelah dijelaskan demikian barulah utusan itu mau menerimanya. Kemudian berangkatlah menuju rumah Tsa'labah. Bagaimanakah kini janji Tsa'labah? Utusan Rasulullah itu memenuhi permintaan Tsa'labah untuk singgah kembali padanya. Mereka datang sesuai dengan janji Tsa'labah untuk mengambil zakatnya. Akan tetapi ternyata, bukan zakat yang dikeluarkan Tsa'labah, tapi ia minta menunggu seraya berkata:

"Pergilah engkau berdua, hingga aku selesai berpikir-pikir dahulu!"

Kedua utusan itupun pulang dengan tangan hampa. Mereka tidak mendapatkan apa-apa dari Tsa'labah. Apa yang dikatakan Tsa'labah pada waktu miskin, terhapus setelah ia kaya raya. Demikianlah terus-menerus bertambah-tambah parah penyakit batinnya. Ia diasuh oleh kenifakan hatinya, dikendalikan oleh kesombongan hatinya serta tamaknya.

Demikianlah keadaan perilaku Tsa'labah berlangsung, kemudian datanglah kerabatnya itu mengabarkan perihal wahyu yang mengenai dirinya tersebut. Dengan tergesa-gesa ia menyampaikan zakatnya kepada Rasulullah. Tapi Allah mengetahui betapa sesungguhnya zakat yang disampaikannya itu tidaklah lepas dari tindakan kenifakannya. Oleh karena itu, Rasulullah tidak berkenan untuk menerimanya.

"Sesungguhnya Allah melarang aku untuk menerima shadaqahmu!"

Memang, Islam tidak perlu uang dan hartanya. Tapi Islam mengharapkan berlakunya undang-undang, tersusunnya masyarakat Islam yang menjadi jaminan akan kebahagiaan ummat serta kemakmurannya.

Pada zaman Abu Bakar dan Umar, Tsa'labah berusaha untuk menyampaikan zakatnya. Namun zakatnya masih juga tetap palsu, sebab nifaknya masih melekat. Oleh karena itu, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar tetap menolaknya, tidak berkenan menerima zakat Tsa'labah sebagaimana halnya Rasulullah. Nifaknya tetap melekat hingga hari kiamat.

Seorang munafik mengeluarkan zakatnya dengan riya. Ia berzakat hanya sekedar hendak menutup celaan ummat serta sangkaan orang. Zakatnya dikeluarkan dengan hati yang berat serta enggan.

 

Segera tunaikan zakat, infak, dan sedekah dengan cara klik langsung link di bawah ini...

LINK ZAKAT

LINK INFAK SEDEKAH

 

Sumber Artikel: KH. E. Abdurrahman. 2005. Al-Ibroh. Bandung: Alibroh Iclamic Propagation

Sumber Gambar: berita99.co

Penulis: KH. E. Abdurrahman
Tags: zakat tsalabah munafik

Berita Lainnya

Mitra LAZ Persatuan Islam