Seorang wanita memiliki peran yang sangat vital dalam Islam. Seiring bertambahnya usia, ia akan mengalami masa perkembangan peran. Dari sebagai anak kecil bagi kedua orang tuanya, kemudian menjadi istri bagi suaminya, dan menjadi ibu bagi anak-anaknya, dan seterusnya.
Wanita Muslimah sebagai Anak
Sebelum Islam, masyarakat Arab Jahiliah merasa hina dan malu jika mempunyai anak perempuan sehingga ada tradisi yang memperbolehkan seorang ayah untuk mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena takut miskin dan menganggapnya sebagai aib di mata kaumnya. Kemudian, Islam datang dan menyatakan bahwa kedudukan anak perempuan sama seperti anak laki-laki. Kedua-duanya merupakan pemberian dan karunia Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
لِّلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثٗا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ ٤٩ أَوۡ يُزَوِّجُهُمۡ ذُكۡرَانٗا وَإِنَٰثٗاۖ وَيَجۡعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًاۚ إِنَّهُۥ عَلِيمٞ قَدِيرٞ ٥٠
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Q.S. asy-Syura [42]: 49-50)
Oleh karena itu, seperti juga anak laki-laki, ia berhak mendapatkan kasih sayang, pendidikan, dan penghidupan yang layak dari kedua orang tuanya. Rasulullah saw. bersabda:
“Barang siapa yang mengasuh dua anak perempuan hingga mereka baligh, maka ia akan datang pada hari kiamat, aku dan dia seperti ini (beliau menyatukan dua jarinya).” (HR Muslim)
Rasulullah saw. juga telah bersabda:
“Barang siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan, lalu ia berbuat baik kepada mereka, niscaya mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR Bukhari Muslim)
Dalam kehidupan rumah tangga, anak perempuan mempunyai peran penting. Ia berperan menjaga kemuliaan keluarga dengan menjaga diri dan kehormatannya serta menuntut ilmu untuk membahagiakan orang tuanya. Anak perempuan juga berperan dalam membantu tugas-tugas rumah tangga dalam keluarganya.
Fatimah az-Zahra binti Rasulullah saw. misalnya, adalah seorang putri yang bisa menjadi “ibu”, pelita hati, dan pelipur lara bagi Rasulullah saw dengan segala ketulusan dan kasih sayangnya. Sejarah mencatat bagaimana perjuangan dan pengorbanan Fatimah dalam menggantikan posisi ibunya, Khadijah binti Khuwailid setelah meninggal dunia.
Dalam suatu riwayat, ath-Thabari pernah menyebutkan bahwasannya ketika perang Uhud usai, datanglah Fatimah bersama beberapa istri sahabat untuk memberi pertolongan kepada mereka yang terluka. Ketika melihat Rasulullah saw. terluka, Fatimah langsung memeluknya dan membersihkan lukanya dengan air. Namun, darah Rasulullah saw terus mengalir keluar. Seketika itu, Fatimah langsung menyobek sehelai tikar lalu dibakarnya untuk membalut luka Rasulullah sampai pendarahannya berhenti. (Muhammad Ibrahim Salim dalam bukunya “Nisaa’u haular- Rasul’’, 2002: 41)
Wanita Muslimah sebagai Istri
Menurut Islam, dalam kehidupan berumah tangga hak dan kewajiban suami istri haruslah seimbang. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨
“…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 228)
Al-Qurthubi menyatakan dalam kitab tafsir “Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an” tentang tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Jilid 3-4, 1994: 127).
Karena itulah, Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman, ‘Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf’”.
Dalam kehidupan rumah tangga, seorang istri berhak mendapat mahar, nafkah berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal yang layak, serta diperlakukan dengan baik oleh suaminya. Allah Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩
“…Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. an-Nisa [4]: 19)
Dalam sebuah keluarga, istri berperan untuk mengatur dan mengelola harta suami serta menjaganya apabila suami tidak ada di rumah. Di samping itu, istri juga berperan untuk memberikan ketenangan manakala suaminya merasakan kesulitan dan kesusahan.
Adalah Siti Khadijah r.a., ia-lah yang senantiasa mendampingi Rasulullah saw. pada masa awal kenabian. Ketika Rasulullah merasa ketakutan manakala wahyu pertama turun kepadanya, Siti Khadijah menenangkannya dengan mengatakan, “Tidak, demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu untuk selamanya. Sebab engkau adalah orang yang suka menyambungkan tali silaturahmi, suka meringankan beban orang lain, suka mengulurkan bantuan kepada orang banyak dengan sesuatu yang tidak didapatkan selain pada dirimu, suka menjamu tamu, dan menolong mereka yang membela kebenaran.”
Selain itu, seorang istri pun seyogyanya dapat membantu meringankan beban kerja suaminya, seperti kisah Asma binti Abu Bakar yang membantu suaminya, Zubayr bin Awwam. Dalam satu riwayat, Asma menuturkan: “Aku yang memberi makan kudanya dan mencukupi bekalnya. Aku menumbuk biji-bijian, juga menyediakan makanan dan minuman. Aku berusaha membuat adonan roti sendiri. Karena aku tidak pandai membuatnya, beberapa wanita Anshar membantuku. Mereka adalah wanita yang jujur. Aku juga pernah memikul hasil panenan dari kebun al-Zubayr. Hasil panen itu dipetik oleh Rasulullah kemudian diangkat ke atas kepalaku untuk aku pikul.” (Mahmud Al-Mishri dalam bukunya “Shahabiyyat haular-Rasul”, 2011: 88)
Wanita Muslimah sebagai Ibu
Islam memerintahkan agar berbuat baik kepada orang tua, utamanya terhadap ibu. Karena dialah yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, dan memberikan pendidikan dasar bagi anak-anaknya. Allah Swt. berfirman:
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ ١٤
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S. Luqman [31]: 14)
Dalam penafsiran ayat di atas dijelaskan bahwa, “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,” mengenai maksud ayat ini, ‘Atha Al- Khurasani mengatakan: “Dalam keadaan lemah setelah keadaan lemah.” (Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adziim, 2000: 53). Qatadah mengatakan: “Kesulitan setelah kesulitan.” Mujahid mengatakan: “Kesulitan lemahnya mengandung.” Az-Zamakhsari mengatakan: “Wahnan ‘ala Wahnin” seperti ucapanmu: “Telah kembali dengan sebenar-benarnya, kembali ke titik awal.” Maknanya: “Akan kembali dengan sebenar-benarnya kembali ke titik permulaan.” Kata ini dalam susunan kalimat berkedudukan sebagai haal (untuk menjelaskan suatu keadaan). Maknanya: “Bahwa seorang ibu merasakan rasa lemah di atas rasa lemah.” Maksudnya, kelemahan yang terus bertambah dan berlipat-lipat ialah karena kehamilan setiap kali bertambah usianya dan semakin membesar, maka si ibu bertambah berat dan bertambah lemah. (Tafsir Al-Kasyaf, 2001: 501)
Ketika Allah Swt. mengkhususkan seorang ibu dengan derajat disebutkannya kehamilannya dan derajat disebutkannya penyusuannya, maka dengan hal-hal itulah seorang ibu memiliki tiga derajat. Sedangkan bagi seorang ayah, hanya satu derajat. Oleh karenanya, tidak ada kemulian terbesar yang diberikan Allah bagi seorang wanita, melainkan perannya menjadi seorang Ibu. Ini sesuai dengan hadits Nabi saw. ketika ada seorang lelaki bertanya pada beliau: “Wahai Rasulullah siapakah yang paling layak aku berbakti kepadanya?” Nabi menjawab: “Ibumu.” Lelaki itu bertanya lagi: “Kemudian siapa lagi?” Nabi menjawab: “Ibumu.” Lelaki itu bertanya lagi: “Kemudian siapa lagi?” Nabi menjawab: “Ibumu.” Lelaki itu masih bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Nabi menjawab: “(Baru) ayahmu.” (H.R. Bukhari)
Diriwayatkan pula bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah pikun. Aku melayaninya makan dengan tanganku, aku juga melayani minumnya, mewudhukannya, dan memikulnya di atas leherku. Apakah aku telah memenuhi haknya?” Nabi saw. menjawab: “Tidak, tidak pula itu satu dari seperseratus.” Laki-laki itu bertanya lagi: “Mengapa Ya Rasulullah?” Nabi Muhammad saw. menjawab: “Karena ia telah mencurahkan semuanya untukmu pada saat kamu masih lemah. Semua itu ditujukannya demi untuk berlangsungnya hidupmu. Sedang kamu berbakti padanya karena berkeinginan kematiannya. Tapi, kamu telah berbuat cukup baik. Allah akan membalasmu dari yang sedikit itu menjadi banyak.”
Sebagai seorang ibu, ia berperan dalam pendidikan dan perkembangan anaknya, baik pendidikan akidah, ibadah, maupun akhlak. Dalam proses pendidikan tersebut, ibu menjadi guru pertama bagi sang anak sebelum dididik oleh orang lain. Karena ibu adalah madrasah pertama, maka seorasng ibu dituntut memiliki kemampuan-kemampuan dasar agar mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Peran yang sangat penting ini, menuntut seorang ibu untuk membekali dirinya dengan ilmu yang memadai. Stas landasan itulah, seorang ibu harus terus bergerak meningkatkan kualitas dirinya. Karena untuk mencetak generasi yang berkualitas, diperlukan pendidik yang berkualitas pula. Hal itu berarti ibu tak boleh berhenti belajar.
Hendaknya para ibu bisa meneladani wanita Anshar yang tidak malu bertanya tentang masalah agama hingga Siti Aisyah r.a. memuji mereka. Siti Aisyah r.a. menyatakan bahwa sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk belajar agama. Kita juga bisa meneladani para shahabiyah yang bahkan meminta kepada Rasulullah untuk diberikan kesempatan di hari tertentu khusus untuk mengajari mereka.
Wallaahu a’lam
Sudah berinfak di hari ini?
Yuk tuniakan infak dan sedekahnya di link ini: Link Infak & Sedekah
Bagi yang hendak menunaikan zakat, bisa dilakukan dengan mudah di link ini: Link Bayar Zakat
Baca Juga:
Wajibkah Wanita Muslim Menggunakan Jilbab?
Tantangan yang Harus Dihadapi dalam Memulai Bisnis
Bahaya Judi Online bagi Individu dan Masyarakat
Penulis: Gyan Puspa Lestari, Lc., M.Pd
Tags:
lazpersis
artikel islam
muslimah