Berdagang dalam Islam bukan hanya soal mencari laba. Berdagang menjadi salah satu pintu rejeki dan ladang ibadah dari sekian banyak mata pencaharian yang bisa dipilih.
Dalam ajaran Islam, mencari nafkah melalui berdagang menjadi perbuatan mulia jika dijalankan sesuai syariat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri di masa mudanya mendapat predikat sebagai seorang pedagang yang jujur dan kompeten.
Lantas, bagaimanakah kita bisa belajar untuk menjadi pedagang yang bukan hanya punya keuntungan di dunia, tapi keuntungan sampai nanti di negeri akhirat. Yuk, pahami dan tanamkan nilai-nilai berdagang yang diajarkan agama Islam supaya usaha perdagangan kita diberkahi di dunia dan di akhirat.
1. Niat Ikhlas karena Allah
Langkah paling penting saat mulai berdagang adalah meluruskan niat. Niat awal itu ternyata menentukan dampak dari perjalanan yang akan dilalui. Berdagang bukan demi melampiaskan keserakahan, tapi demi menjalankan perintah untuk mencari rezeki yang halal dan memenuhi kebutuhan keluarga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya segala perbuatan bergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Jujur dalam Berdagang
Jujur adalah aspek penting yang menjaga kepercayaan dan keberkahan. Menurut teori ekonomi, kepercayaan (trust) merupakan modal penting dalam sebuah transaksi. Jika penjual jujur, pembeli percaya dan nantinya terjadi pembelian ulang (repeat buying). Hal ini sesuai prinsip bahwa biaya mencari pelanggan baru lebih besar dibanding menjaga pelanggan yang tersedia. Jadi, jujur ternyata bukan semata masalah moral, tapi juga strategi bisnis yang rasional dan ekonomis.
Ketidakjujuran dapat menimbulkan masalah informasi asimetris, yaitu ketika penjual lebih tahu kualitas barang, sedangkan pembeli tidak. Ini dapat meningkatkan biaya transaksi, karena pembeli harus mencari informasi tambahan, bergelut mencari jaminan, atau meminta garansi. Kalau terjadi kejujuran, biaya mencari informasi turun, proses terjadi lebih cepat, dan terjadi efisiensi aktivitas ekonomi.
Bahkan, Adam Smith pun menyebut bahwa jika masing-masing pelaku jujur dan mencari kepentingannya secara wajar, nantinya terjadi “invisible hand”, yaitu kesetimbangan yang terjadi secara alamiah dan adil. Ini terjadi apabila pedagang jujur, pembeli percaya, dan terjadi pertukaran yang saling menguntungkan.
Nabi Muhammad kebanggaan kita pernah mengajarkan, “Jual beli disertai pilihan, apabila jujur dan terus terang, diberkahi perniagaannya; tapi apabila menipu dan menyembunyikan, dicabut keberkahannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam ukuran Islam, pedagang jujur nantinya akan dikumpulkan bersama para Nabi, orang-orang jujur, dan syuhada di surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan bersama para Nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (H.R. Tirmidzi)
3. Menghindari Penipuan (Gharar)
Jika dilihat dari prinsip ekonomi modern, penipuan memang harus dihindari karena dapat menimbulkan dampak negatif jangka pendek dan jangka panjang terhadap penjual, pembeli, dan pasar secara keseluruhan. Penipuan bisa berdampak pada anjloknya kepercayaan konsumen terhadap produk, peningkatan biaya transaksi, pasar menjadi inefisiensi atau adverse selection (produk berkualitas buruk mendominasi pasar), serta menggerogoti loyalitas konsumen.
Benar kiranya panduan Islam dalam berdagang, di mana seorang pedagang dilarang menipu ukuran, timbangan, kualitas, atau menyembunyikan kecacatan barang. Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:
“Celakalah orang-orang yang mengurangi takaran. (Yaitu) apabila menerima ukuran dari orang lain, meminta penuh; namun apabila menakar atau menimbang untuk orang lain, malah dikurangi.” (Q.S. al-Mutaffifin: 1-3)
4. Adil dalam Penetapan Harga
Pedagang juga diajarkan untuk menetapkan harga yang wajar, bukan mencari untung yang tidak manusiawi. Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menyukai kemudahan dan kejujuran.” (H.R. Ahmad)
Ini menjadi landasan awal, bahwa penjual harus adil dan manusiawi saat menawarkan barang dagangannya. Bukan hanya demi memenuhi ekspektasi konsumen, tapi lebih jauh dari itu.
Ketahuilah bahwa menetapkan harga sembarangan dan seenaknya justru dapat merugikan, bukan menentukan keberhasilan. Jika penjual memasang harga terlalu mahal, konsumen akan mencari produk lain yang lebih murah. Namun jika harga terlalu murah, penjual mungkin rugi, kesulitan menutup biaya produksi, atau bahkan kualitas produknya dianggap rendah.
Selain itu, harga bukan ukuran sepihak, tapi terjadi melalui pertemuan penawaran dan permintaan. Dalam prinsip ekonomi, terjadi kesepakatan apabila harga yang ditetapkan sesuai (equilibrium), yaitu pembeli bersedia membeli dan penjual masih mendapatkan laba wajar.
Singkatnya, menetapkan harga bukan soal suka-suka, tapi harus berdasarkan biaya, kualitas, dan kondisi pasar. Dengan pendekatan yang matang, pedagang dapat menjaga kepuasan pelanggan, memperoleh laba, dan menjaga kelanjutan usahanya. Dan semua hal itu sudah dijelaskan dalam ajaran Islam.
5. Mengikuti Aturan Syariah (Halal dan Thayyib)
Berdagang dengan panduan Islam pun harus berdasarkan prinsip halal dan thayyib, yaitu barang yang dijual memang dihalalkan agama, berguna, dan berkualitas baik. Dalam al-Qur’an disebut:
“Dan makanlah makanan yang halal dan baik dari apa yang Allah karuniakan kepadamu.” (Q.S. Al-Mā'idah: 88)
6. Tunaikan Kewajiban Zakatnya
Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini:
مَا مَعْشَرَ التُّجَارِ إِنَّ البَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَ الْحَلْفُ فَشَوِّبُوْهُ بِالصَّدَقَةِ
“Wahai para pedagang! Sesungguhnya jual-beli itu selalu dihadiri (disertai) kemaksiatan dan sumpah. Oleh karena itu, kamu wajib mengimbanginya dengan sedekah (zakat).” (HR Ahmad)
Perdagangan yang diberkahi adalah perdagangan yang ditunaikan kewajiban zakatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Adalah Rasulullah memerintahkan kami mengeluarkan zakat dari apa yang telah disediakan untuk dijual”. (H.R. Abu Daud)
Seseorang yang berdagang, wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari modal produk yang akan dijual. Ketika kewajiban zakat menyertai perdagangan, Insya Allah keberkahan akan dicurahkan kepada pedagang tersebut.
Para pedagang yang enggan menunaikan zakatnya, akan mendapat ancaman serius dari Allah. Firman Allah Ta’ala:
×@÷urur … tûüÏ.Îô³ßJù=Ïj9 ، tûïÏ%©!$# w tbqè?÷sã no4q2¨9$# Nèdur ÍotÅzFy$$Î/ öNèd tbrãÏÿ»x.
“… Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Q.S. Fushshilat, 41: 6 – 7)
Berdasar keterangan di atas, kita bisa memahami bahwa berdagang bukan sebatas urusan duniawi saja. Berdagang juga menjadi ukuran ketaatan kepada Allah. Dengan menjaga adab, jujur, adil, dan halal, perniagaan dapat menjadi ladang pahala dan berkah. Pertumbuhan ekonomi pun akan terus mengalami trend positif selama nilai-nilai Islam terus dijaga dalam perniagaan. Maka, siapakah yang masih ragu dengan nilai-nilai perdagangan Islam?
Mau menunaikan zakat? Yuk, tunaikan secara mudah dan praktis di link ini: Link Bayar Zakat
Infak dan sedekah bisa ditunaikan di link ini: Link Infak & Sedekah
Baca Juga:
Ikhlas, Bagaimana Cara Menjaganya?
Hari Raya Ied Jatuh di Hari Jumat: Apakah Masih Wajib Jumat?
Penulis: Hafidz Fuad Halimi
Tags:
lazpersis
zakat perdagangan
adab