lazpersis.or.id - Dalam perjalanan hidup seorang Muslim, tidak ada nilai yang lebih penting dalam beramal selain ikhlas. Ia adalah jiwa dari setiap ibadah, inti dari setiap amal, dan penentu diterima atau tidaknya suatu perbuatan di sisi Allah. Namun, meski terdengar sangat familiar di telinga kita, ternyata banyak yang masih gagal memaknai kata ikhlas dalam kesehariannya.
Secara bahasa, ikhlas berasal dari akar kata khalasha, yang berarti jernih atau suci dari campuran dan pencemaran. Dalam konteks amal, ikhlas berarti membersihkan niat dari segala selain Allah, baik itu karena ingin dipuji, dihargai, atau dikenal oleh manusia.
Seorang yang ikhlas (mukhlis) tidak sibuk mencari pengakuan, tidak merasa lebih dari orang lain, dan tidak menuntut balasan. Mukhlis hanya mengharapkan ridha Allah, dan itulah yang membuat amalnya bernilai tinggi, meskipun secara kasat mata tampak sederhana.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Amal apa pun, sekecil apa pun, akan bernilai besar jika niatnya lurus. Begitu pun sebaliknya, sebesar apa pun amal akan menjadi sia-sia bila niatnya cacat.
Bahkan dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah menceritakan bahwa orang yang tampak berjasa di dunia seperti syuhada, alim, atau dermawan bisa menjadi penghuni neraka. Mengapa demikian? Ternyata, penyebabnya hanya karena niat dalam beramalnya bukan karena Allah. Mereka beramal agar dilihat, dihormati, dan dikenang, bukan karena ingin meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sungguh, orang pertama yang akan diputuskan pada hari Kiamat kelak adalah seorang yang mati syahid. Ia dihadapkan kepada Allah dan diingatkan akan nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan hal itu diakuinya. Kemudian Allah berfirman, ‘Apa yang telah kamu lakukan dengan (nikmat) itu semua?’
Jawabnya, ‘Aku telah berperang untuk Engkau hingga mati syahid’.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Kamu berdusta. Kamu berperang untuk dikenal sebagai pahlawan yang gagah berani.’ Lantas, ia diseret ke dalam api neraka.
Orang yang kedua dihadapkan kepada Allah. Ia adalah orang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya, serta pandai membaca al-Qur’an. Maka, diberitakan tentang nikmat-nikmat yang telah ia peroleh dan ia mengakuinya. Allah berfirman, ‘Apa yang telah kamu lakukan dengan (nikmat) itu semua?’
Jawab orang itu, ‘Aku telah belajar ilmu, mengajarkannya, serta membaca al-Qur’an untuk Engkau.’
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Kamu berdusta. Kamu belajar ilmu agar mendapat gelar alim, membaca al-Qur’an agar mendapat gelar qari.’ Kemudian diperintahkan kepada malaikat untuk mencampakkannya ke dalam api neraka.
Orang ketiga yang dihadapkan kepada Allah adalah ia yang diluaskan rezekinya dan hidup kaya (semasa di dunia). Maka, diberitakan kepadanya tentang nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya, dan ia mengakuinya. Allah berfirman, ‘Apa yang telah kamu lakukan dengan (nikmat) itu semua?’
Jawab orang itu, ‘Aku selalu mendermakannya demi Engkau di jalan yang Engkau sukai.’ Allah berfirman, ‘Kamu berdusta. Kamu mendermakan harta agar disebut dermawan, dan telah dikenal begitu di dunia.’ Maka, Allah memerintahkan malaikat untuk melemparkan orang itu ke dalam neraka.”
Semua amal mereka secara lahiriah bisa saja terlihat baik. Tetapi, ternyata niat yang buruk bisa meruntuhkan segalanya. Menurut ulama seperti al-‘Adawy, konsistensi akhlak dan amal tak bisa berdiri tanpa pondasi ikhlas. Nasihatnya:
“Jika Anda memberi, maka berilah hanya karena Allah. Jika Anda mencintai, maka cintailah karena Allah. Dan jika Anda membenci, bencilah karena Allah.”
Inilah kunci yang membuat amal menjadi konsisten, bersih, serta bukan karena suasana hati dan bukan karena penilaian orang. Semua amalnya harus karena kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dan, kita sendiri yang mengetahui apakah amal yang kita lakukan itu karena Allah atau karena yang lain mengingat niat itu adalah perbuatan hati dan tidak ada yang bisa menyelaminya kecuali diri sendiri.
Sebetulnya tidak menjadi masalah jika suatu kebaikan dipublikasi, asalkan niatnya tetap karena Allah dan tujuan publikasinya agar kebaikan itu bisa menginspirasi dan diikuti orang lain. Memang ada risiko untuk dikomentasi sebagai perbuatan pamer dan sebagainya, namun kembali lagi bahwa hati kita lah yang menetukan.
Ingatlah sosok hebat Umar bik Khattab yang gemar berinfak dan bersedekah secara terang-terangan dan terbuka. Umar tak segan mengumumkan sedekahnya dengan motif agar kebaikan itu bisa diikuti oleh orang lain.
Memang potensi untuk pamer (riya), mengungkit-ngungkit, dan berbagai kekeliruan dalam berbuat baik itu selalu ada. Maka jika kita merasa khawatir terjerumus ke dalam motif yang menyimpang, maka infak dan sedekah bisa ditunakan melalui lembaga pengelolanya.
Keberadaan lembaga pengelola dana umat (zakat, infak, sedekah, dan kemanusiaan) menjadi solusi bersihnya ibadah harta dari motif menyimpang. Insan baik yang menitipkan dana ZIS melalui lembaga, tidak secara langsung bertemu dengan penerima kebaikannya sehingga potensi untuk riya, mengungkit-ngungkit, dan kebaikan salah guna bisa dihindari. Lembaga Amil Zakat yang sudah legal dan terbukti amanah pun memiliki sistem kerja yang meminimalisasi penyaluran yang salah sasaran dan minim manfaat. Melalui lembaga, ibadah harta umat semakin terarah, tepat sasaran, dan menjadi gerakan besar yang efektif menjaga akidah umat. Hal yang lebih utama, para penitip dibantu untuk menjaga kualitas keikhlasannya.
Allah menjanjikan balasan agung bagi mereka yang mendermakan hartanya tanpa pamrih. Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Orang yang menginfakkan hartanya untuk membersihkan (dirinya), dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberi) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan kelak ia akan mendapat kepuasan (yang sempurna).” (Q.S. al-Lail: 18–21)
Sebaliknya, orang yang berinfak untuk pencitraan, agar disebut dermawan, akan mendapatkan kehinaan, bahkan siksa. Hal itu sudah dijelaskan dalam keterangan sebelumnya.
Berinfak bukan sekadar mengeluarkan uang. Berinfak dan bersedekah merupakan pernyataan cinta kepada Allah, bukti keikhlasan kita sebagai hamba. Maka, jangan rusak infak dan sedekah dengan pujian, pamrih, atau ekspektasi duniawi.
Saat kita memberi, biarlah tangan kanan memberi tanpa diketahui tangan kiri. Saat kita tergerak untuk membantu, biarlah hanya Allah yang tahu. Sebab dari situlah keberkahan akan mengalir dan amal kita akan sampai ke langit.
Berinfaklah karena Allah. Beramallah karena cinta. Maka engkau takkan pernah rugi.
Insya Allah...
Yuk, tingkatkan kualitas infak dan sedekah dengan cara klik link ini: Link Infak & Sedekah
Bagi yang hendak menunaikan zakat, bisa ditunaikan secara mudah di link ini: Bayar Zakat Sekarang!
Baca Juga:
Nabi Ibrahim: Cahaya Kebenaran di Tengah Gelapnya Penyembahan Berhala
Khutbah Jum’at: Amalan yang Mendekatkan Diri Kita kepada Allah
Pendidikan Kesabaran, Perlukah?
Penulis: Hafidz Fuad Halimi
Tags:
lazpersis
artikel islam
ikhlas