Gelapnya malam yang tak hanya menutupi langit, tapi juga hati manusia di tengah penyembahan berhala. Namun, kegelapan itu pun perlahan sirna dengan lahirnya sosok revolusioner yang mengajarkan tauhid kepada bangsa Babilonia di abad ke-20 sebelum masehi.
Pada masa itu, lahirlah seorang anak laki-laki bernama Ibrahim di Kota Ur, sebuah kota kuno yang terletak di wilayah Mesopotamia (kini berada di selatan Irak). Kota Ur berada di tepi Sungai Eufrat dan pada masa itu merupakan bagian dari wilayah Babilonia atau Kaldan yang dipimpin oleh Raja Namrud.
Ibrahim tumbuh di sebuah negeri yang dikuasai oleh penyimpangan akal sehat, yakni merebaknya tradisi penyembahan patung dan benda-benda langit. Bahkan, ayahnya sendiri adalah pembuat berhala, tangan yang membentuk batu menjadi sesembahan yang tak bisa berbicara, bergerak, ataupun mendengar. Namun di tengah kehidupan yang penuh kekeliruan itu, hati Ibrahim tidak pernah tenang.
Sejak muda, Ibrahim dikenal sebagai pemikir tajam. Ia memandang ke langit, menyaksikan matahari yang menyala terang, bulan yang menebar cahaya, dan bintang yang bertaburan indah. Ia bertanya dalam hatinya: “Apakah ini semua adalah Tuhan?”
Suatu malam, ketika gelap mulai menyelimuti bumi, Ibrahim menatap bintang dan berkata, “Inilah Tuhanku.” Tapi saat bintang itu tenggelam, ia menolak, “Aku tidak suka pada yang tenggelam.” Lalu muncullah bulan, lebih terang dan lebih besar. Ia berkata, “Ini Tuhanku.” Namun saat bulan pun menghilang, ia kecewa. Dan ketika matahari terbit dengan sinarnya yang megah, ia kembali berujar, “Inilah Tuhanku, yang lebih besar.” Tetapi ketika matahari pun terbenam, Ibrahim sadar sepenuhnya, “Tuhan sejati tidak mungkin tenggelam. Tidak mungkin lenyap”.
Ibrahim menolak menyembah apa yang diciptakan. Ia sadar, Tuhan adalah Sang Pencipta, yang tidak tergantung pada waktu atau wujud, yang tak bisa dibuat oleh tangan manusia. Ia menolak berhala-berhala yang disembah oleh kaumnya. Dengan keberanian, ia berkata, “Sesungguhnya aku berpaling dari apa yang kalian sembah, kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”
Namun apa yang terjadi saat seseorang membawa kebenaran ke tengah-tengah masyarakat yang mencintai kebohongan? Ibrahim menjadi musuh. Ia dihina, ditentang, bahkan diancam oleh ayahnya sendiri. Tetapi hatinya tidak goyah.
Dalam satu peristiwa yang menggugah, Ibrahim menghancurkan berhala-berhala kaumnya, kecuali satu berhala terbesar. Saat mereka marah dan bertanya siapa pelakunya, Ibrahim menjawab, “Tanyakan saja pada berhala besar itu!” Kemudian kaumnya menyanggak, “Bagaimana mungkin ia bisa bicara?” Dengan kalimat lugas dan cerdas, Ibrahim berujar, “Lantas mengapa kalian menyembah sesuatu yang bahkan untuk berbicara pun tidak mampu?”
Kaumnya pun terdiam. Mereka malu oleh logika yang sederhana tapi menusuk. Namun, ego mereka tetap menolak untuk menerima kebenaran yang sebetulnya dibenarkan oleh hati dan pikiran mereka.
Puncak dari perlawanan kaum Ibrahim adalah ketika Raja Namrud memutuskan membakar Ibrahim hidup-hidup. Api besar dinyalakan. Ibrahim pun siap dilemparkan ke dalamnya. Namun langit menjawab keberanian hamba-Nya yang ikhlas. Allah berfirman, “Wahai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim!” (Q.S. al-Anbiya: 69). Api pun tunduk, tak membakar sehelai pun dari tubuh sang Nabi yang mulia.
Kisah Nabi Ibrahim bukan sekadar sejarah, melainkan pelita bagi hati yang mencari makna. Ia mengajarkan bahwa iman bukan warisan, tapi pencarian. Bahwa kebenaran tidak selalu diterima dengan mudah, tapi mesti diperjuangkan dengan sabar dan keberanian.
Ia menunjukkan bahwa saat dunia menawarkan patung-patung kekuasaan, materi, dan tradisi buta, hanya hati yang jujur pada Tuhan yang akan menemukan cahaya. Ibrahim adalah lambang dari tauhid murni. Ia bukan hanya nabi, tapi kekasih Allah sebagaimana Allah menjulukinya.
Di tengah arus zaman yang sering menyesatkan, mari kita menjadi seperti Ibrahim. Bertanya, berpikir, dan berani menolak sesembahan palsu. Berhentilah kita diperbudak oleh hawa nafsu dan dunia fana, termasuk harta dan kuasa. Cermatilah kisah Nabi Ibrahim alaihissalam, di maka kita pun bisa menjadi pemandu di tengah masyarakat yang terjebak dalam kedangkalan akal sehat.
Mau gabung qurban dengan manfaat berlipat? Bisa! SIlahkan daftar melalui link ini: Link Daftar Qurban
Bagi jamaah yang ingin membiasakan berbagi rutin, bisa langsung akses link ini: Link Infak & Sedekah
Bagi Anda yang berkewajiban menunaikan zakat, bisa langsung dituaikan secara mudah dan praktis di link ini: Link Bayar Zakat
Baca Juga:
Kuatkan Niat, Persiapkan Sedini Mungkin!
Kisah Qurban Keluarga Nabi Ibrahim a.s
Penulis: Hafidz Fuad Halimi
Tags:
lazpersis
Nabi Ibrahim
berhala
babilonia
tauhid