Bagaimana nasib orang-orang yang tidak diuji dengan musibat? Apakah mereka akan mendapat limpahan pahala?
Orang yang bergelimang kenikmatan dan dijauhkan dari musibat, bukan berarti Allah tidak mengujinya. Mereka akan diuji dengan harta dan kesenangan.
Firman Allah:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةًۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (Q.S. al-Anbiya [21]: 35)
“Kullu” artinya “setiap”. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak seorang pun yang terlewat, semua yang bernafas pasti akan merasakan maut. Apakah ia kafir, mukmin, kaya, miskin, tua, muda, bahkan tumbuhan dan hewan.
Kata “fitnatan” merupakan taukid (kata yang menegaskan) bahwa keburukan dan kebaikan, rugi dan untung, sengsara dan senang, sakit dan sehat, kalah dan menang adalah benar-benar ujian.
Jadi, segala yang kita dapatkan, yang kita rasakan, yang kita alami, hatta Allah mengumumkan bahwa mati dan hidup adalah ujian; apakah kita akan beramal saleh atau beramal salah?
Firman Allah Swt.:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. al-Mulk [68]: 2)
Pada umumnya, manusia tidak merasa diuji dengan kesenangan dan kesengsaraan. Mereka menganggap bahwa kesenangan adalah anugerah sedangkan kesengsaraan adalah siksaan.
Firman Allah Swt.:
فَاَمَّا الْاِنْسَانُ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ رَبُّهٗ فَاَكْرَمَهٗ وَنَعَّمَهٗۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَكْرَمَنِۗ وَاَمَّآ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهٗ ەۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَهَانَنِۚ
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu ia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka ia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka ia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku’.” (Q.S. al-Fajr [89]: 15-16)
Melalui ayat ini, Allah Allah menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan.
Padahal, sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian dari Allah bagi hamba-hamba-Nya agar banyak beramal saleh. Mulia dan hina tidak diukur dengan pangkat dan kekayaan, melainkan dengan amal salehnya.
Orang yang miskin dan sengsara berpeluang untuk mendapatkan pahala surga dengan banyak berdo’a dan berharap kepada Allah Swt. dalam ibadah-ibadahnya yang ikhlas. Kerjanya lebih melelahkan dari pada atasannya. Langkahnya menuju masjid akan lebih banyak dari pada yang berkendaraan.
Sakitnya orang miskin lebih lama dari pada orang yang punya biaya. Makannya orang miskin lebih teratur dan tidak berlebihan. Ia tidak banyak dipuji orang karena pujian dapat membuatnya takabbur.
Itu semua akan menjadi lahan pahala asal ia tetap beriman dan bersabar.
Orang yang berada di zona selamat, hidupnya senang karena jauh dari musibat, hartanya berlimpah dan badannya sehat, makannya banyak dan tenaganya kuat, ia pun mempunyai peluang untuk mendapatkan surga.
Dengan hartanya, ia dapat menunaikan zakat, infak, dan sedekah. Ia mempunyai kesempatan untuk berkurban, ibadah haji, dan mewakafkan sebagian hartanya.
Ia pun dapat membebaskan diri dari neraka jahannam, dapat memiliki istana di surga melalui pembangunan masjid, menikmati hidangan surga melalui sedekahnya kepada fakir miskin, merasakan kesenangan sempurna melalui jihad fii Sabilillah.
Bagi orang yang beriman, apa pun statusnya, bagaimana pun nasibnya, akan tetap berakibat baik.
Sabda Rasulullah saw.:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.
“Sungguh mengagumkan urusan orang yang beriman, seluruh urusannya sungguh baik, dan hal itu tidak terjadi kipada seseorang selain orang mu-min; jika ia menerima kesenangan, ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Jika ia ditimpa celaka (kesusahan) ia sabar, maka sabar itu baik baginya.” (H.R. Muslim dari Shuhaib r.a.)
Nabi Sulaiman a.s. ketika mendapatkan kenikmatan berupa ilmu sehingga dapat berkomunikasi dengan jin dan jin begitu taat kepadanya, Beliau berucap:
هٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْۗ لِيَبْلُوَنِيْٓ ءَاَشْكُرُ اَمْ اَكْفُرُۗ وَمَنْ شَكَرَ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ
“Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku, Apakah aku bersyukur atau kufur (mengingkari nikmat-Nya). Dan siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan siapa yang kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia". (Q.S. an-Naml [27] : 40)
Maksudnya, Allah Swt. tidak membutuhkan syukur hamba-hamba-Nya. Justru, Allah Swt. akan menambah nikmat kepada orang yang bersyukur.
Syukur dan sabar itu tidak seimbang karena senang dan susah adalah dua hal yang bertentangan. Kita tidak boleh memposisikan diri agar mendapat musibat, misalnya pindah ke tempat bencana, bahkan kita diperintah untuk menyelamatkan diri, diperintah untuk mencari karunia Allah.
Kita diperintah makan dan minum serta bersenang-senang, namun jangan lupa bersyukur. Firman Allah Swt.:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 172)
Menurut Imam Muhammad Rasyid Ridla, bahwa yang disebut syukur adalah “Menggunakan pemberian dan kenikmatan sebagaimana mestinya (sesuai tujuan Pemberi)”. (Tafsir al-Manar)
Tujuan Allah menciptakan kita hanya untuk beribadah kepada-Nya. Firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. ad-Dzariyat [51]: 56)
Jadi, yang disebut syukur adalah ibadah. Seluruh hidup kita difokuskan untuk ibadah: Hati yang bersyukur selalu berniat ikhlas dan khusyu; lisan yang bersyukur tidak henti-hentinya mengucapkan zikir dan kalimah thayyibah; dan anggota badan yang bersyukur tidak pernah berbuat maksiat.
Karena itu, kebalikan syukur adalah kufur, yakni manakala niat dalam hati sudah perpaling kepada makhluk, tidak mengakui pemberian Allah. Lisan bicara sombong, kotor, dan tidak jujur. Kaki mengantar ke tempat maksiat, tangan berbuat jahat, telinga mendengarkan dosa, dan mata melihat yang haram. Siapa yang bersyukur, nimatnya akan ditambah.
Siapa yang kufur, siksanya akan ditingkatkan. Firman Allah Swt.:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’”. (Q.S. Ibrahim [14]: 7)
Penambahan nikmat tidak hanya di akhirat nanti, namun dapat kita rasakan saat ini. Jika ternyata nikmat itu tidak ditambah di dunia, berarti akan dilipatgandakan nanti di surga.
Demikian juga tentang siksa yang pedih. Jika selamat dari siksa, dunia Allah akan menimpakannya yang lebih berat di neraka.
Baca penjelasan lanjutannya di sini: Bagian 2
Yuk, buktikan rasa syukurmu dengan berbagi langsung di link ini: Link Infak & Sedekah
Bagi yang hendak menunaikan zakat, bisa langsung ditunaikan di link ini: Link Bayar Zakat
Baca Juga:
Bahaya dan Dampak Tertanamnya Kesombongan dalam Diri
Renungan Diri di Tengah Cuaca Panas Terik
Kontribusi Foto: Persis Photography
Penulis: KH. M. Rahmat Najieb, M.Pd
Tags:
lazpersis
persis
ibadah
bersyukur
musibah